Layanan Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Dokumen Tender & Peraturan Direksi terkait Pengadaan). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

CARI DI BLOG INI

29 Oktober 2021

MAKSUD DAN TUJUAN MEDIA INI : EDUKASI KEBIJAKAN PENGADAAN

  Penulis sangat termotivasi membuat Media ini berawal dari dari belum ditemukannya Skripsi, Tesis, Disertasi, Jurnal, Paper Work ataupun penelitian Ilmiah lainnya yang mengkaji Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) memakai pendekatan Kebijakan Publik yang berlaku di Indonesia. Ini terungkap ketika penulis dalam rangka penyusunan tesisnya terkait PBJ tidak menemukan sama sekali referensi Jurnal yang meneliti PBJ di Indonesia memakai metodologi kebijakan publik pada Publish or Perish (PoP), kebanyakan pendekatan yang dipakai adalah memakai metodologi Yuridis, Sosial, Politik dan Keuangan sebagaimana yang ditunjukkan Analisis Co-occurance VOSviewer (Gambar 1). Kelangkaan ini, bisa saja disebabkan uniknya Kebijakan PBJ Indonesia yang diatur oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/jasa Pemerintah (LKPP). Mudah-mudahan dengan adanya Media ini semakin banyak peneliti berlatar kebijakan publik yang tertarik membuat kajian.


Gambar 1.a. Hasil Analisis VOSviewer terhadap jurnal yang abstraknya mengandung keyword kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah pada PoP.


Gambar 1.b. Hasil Analisis VOSviewer lanjutan yang menunjukkan kebijakan ke pengadaan sama sekali  belum diteliti secara langsung.

    Anggaran PBJ yang bersumber dari APBN/APBD menelan biaya diperkirakan lebih dari 1/4 total anggaran dalam Bentuk Belanja Modal dan Belanja Barang/Jasa. Hampir 50% dari Belanja tersebut kebijakannya diatur oleh LKPP sebagai pelaksanaan dari perintah Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan barang/jasa pemerintah yang telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 (PS 16/18) dan sisanya diatur Peraturan Perundangan-undangan (PPU) lain. Pengaturan dalam bentuk Peraturan Presiden ini  faktanya banyak para stake holder terutama Kementrian/Lembaga/Pemerintahan Daerah (K/L/PD) masih tidak patuh bahkan ada yang membuat kebijakan sendiri-sendiri, disisi lain Formulasi Kebijakan dibidang PBJ ini dipandang masih perlu banyak perbaikan, kurang Powerfull mengatur Lembaga Tinggi Negara yang setara dengan Presiden bahkan banyak juga terdapat PPU lain yang mengatur PBJ untuk jenis barang/jasa tertentu. Setidaknya saat ini terdapat 41 buah kebijakan di bidang PBJ dan 310 buah Kebijakan Terkait PBJ serta belum termasuk Peraturan Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala desa) dimana seluruh kebijakan tersebut mengatur 65.716 orang ASN (PPK/Pokja/PP/Swakelola) pelaku PBJ dan 429.868 Penyedia (Perusahaan/perorangan).

    Besarnya anggaran PBJ, banyaknya pelaku yang terlibat, tingginya moral hazards membuat penulis yakin perlunya pemahaman Kebijakan Publik yang benar diseluruh tahapan dimulai dari Formulasi, Implementasi, Monitoring dan Evaluasi.  Pemahaman tentang kebijakan terkait PBJ pastilah dirindukan masyarakat khususnya K/L/PD Pengguna Anggaran termasuk BUMN/BUMD/BLU, Penyedia Barang/Jasa (Swasta/BUMN), Pengawas (DPR/BPK/BPKP/DPRD/APID), Pemerhati (Akademisi/LSM/Peneliti) bahkan dibutuhkan masyarakat internasional seperti Investor, World Bank, Asian Development Bank dan Non Government Organization (NGO). 

    Perkiraan kebutuhan masyarakat akan informasi kebijakan PBJ diatas setidaknya telah terbukti, penulis telah me-launching perdana artikel per tanggal 01 Agustus 2020, tercatat hingga saat ini (31 Juli 2022) dengan 158 artikel yang telah di publish ternyata telah diakses dari 46 Negara dan dari 305 Kota di Indonesia. Dikunjungi sebanyak98.172kali dengan rata-rata pengunjung 134,6 kali sehari (sumber: Google Analityc).


Gambar 2. Lokasi Visitor dari seluruh Dunia (warna abu-abu menandakan belum ada pengunjung dari negara tersebut)

Gambar 3. Lokasi Visitor dari seluruh kota di Indonesia (titik berwarna menandakan kota sumber visitors)

    Sangat banyak atensi dari pembaca dan berdiskusi secara pribadi dengan berbagai alasan dan tujuan seperti permasalahan tender yang dihadapinya, minta pandangan keamanan investasinya, permasalahan proyek yang sedang dikerjakan. Dari awalnya hanya ingin mengedukasi masyarakat terhadap kebijakan PBJ agar menjadi cikal bakal lahirnya peneliti kebijakan PBJ, kini berkembang menjadi turut membantu implementasi, monitoring dan evaluasi kebijakan terkait PBJ sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat. Semuanya dilakukan secara gratis dalam rangka mengedukasi masyarakat Pengadaan di Indonesia.

Mari kita majukan PBJ Indonesia, tolong identifikasi dan ceritakan permasalahannya, kita buat kajiannya, kita usulkan solusinya ke setiap stakeholder kebijakan. LKPP, Presiden dan DPR harus siap melayani Masyarakat khususnya terkait Pelayanan PBJ.


Terimakasih buat para pembaca. 


Salam Kebijakan Publik.

27 Oktober 2021

Fitur Pengaman TOTP pada LPSE KemenPUPR, kebijakan berdasarkah?

    Kemarin, 24 Oktober 2021 saya kaget ketika hendak login ke https://lpse.pu.go.id/eproc4/ soalnya baru pertama kali dihadapkan pada prmintaan Kode TOTP, tentunya saya bingung apakah ini prosedur baru pada SPSE versi 4.4. Untuk menjawab kebingungan itu, saya coba akses ke https://lpse.lkpp.go.id/eproc4/# namun LPSE terrsebut sama sekali tidak meminta Kode TOTP. Sebagai orang yang berlatar Ilmu Kebijakan Publik yang memahami prosedur kebijakan maka coba saya cari penjelasan di Keputusan Deputi II Nomor 19 Tahun 2021 Panduan Penyesuaian Penggunaan Aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik Versi 4.4 dan 4.3 untuk Pelaksanaan Tender/Seleksi berdasarkan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia (KDIILKPP 19/21) dan User Guide SPSE 4.4 Untuk Pelaku Usaha, namun tetap tidak menjawab kebingungan saya.

Seketika saja saya teringat postingan kawan sehari yang lalu di medsos yang memohon bantuan atas permasalahannya terkait TOTP ini, saya lihat sangat minim tanggapan dan saya juga bingung mau nanggapi apa soalnya baru dengar juga istilah TOTP ini. Saya cek postingan lain juga sudah mulai muncul kebingungan-kebingungan serupa. Coba saya tanya melalui email ke Helpdesk.spse@pu.go.id dan memperoleh tanggapan 32 menit kemudian, ternyata ada tambahan aplikasi baru yang mereka sebut TIME-BASED ONE-TIME PASSWORD (TOTP). 

Pihak Helps Desk menerangkan bahwa :

TOTP atau yang sudah biasa dikenal sebagai salah satu jenis Two-Factor Authentication (2FA). User cukup melakukan Aktivasi TOTP menggunakan Smartphone (Android/iOS) dengan Aplikasi 2FA Gratis (Contoh: Google Authenticator, Tufa, FreeOTP, dan lain-lain) yang bisa didownload melalui Play Store (Android) dan App Store (iOS). Fitur TOTP ini digunakan sebagai salah satu peningkatan standar keamanan yang membutuhkan 2 proses verifikasi. Selain menggunakan User ID dan Password, User juga wajib menggunakan Security Code yang di-generate melalui Aplikasi 2FA tersebut. Cara ini terbilang lebih aman serta terjamin keamanannya karena terintegrasi dengan Smartphone pemilik akun. Sehingga kemungkinan akan terjadinya pembajakan akun dapat ditekan seminimal mungkin. Berbeda dengan fitur One-time Password (OTP), User/Pemberi Layanan bisa dikenakan biaya tambahan jika mengirimkan OTP melalui Text Message (SMS/Whatsapp) kepada User. Untuk saat ini penggunaan TOTP pada saat login untuk seluruh User bisa di enable/disable bergantung kepada kebijakan yang berlaku. Jika dibuat enable, User Login akan menggunakan TOTP/2FA dan jika dibuat disable, User Login akan menggunakan Two-step Login.

catt: Click disini untuk meliha Petunjuk teknis & QnA terkait TOTP
 

Segera saya coba, langkah awal men-dowload aplikasi Google Authenticator pada Play Store, agak ragu juga serasa keamanan yg ditawarkan LPSE dipindahkan ke pihak ketiga yaitu Perusahaan Google, mana lagi bahwa  user id dan password kita biasanya telah disimpan perusahaan tersebut soalnya biasanya aktivasi LPSE didaftarkan pake @gmail.com dan browsing juga pake google Chrome, demi cari makan biar bisa ikut tender terpaksalah menyerah dan ikuti langkah selanjutnya. Aktivasi dan login berhasil, kemudian saya coba fitur enable/disable dan meskipun sudah di disable-kan namun hasilnya tetap enable...mulai bingung, kemudian coba reset TOTP dan masukkan alamat email namun sudah jalan 3 hari ga kunjung dapat email dan akibatnya ga bisa akses tu LPSE, untungnya saya ga sendirian, penyedia lain mulai pada komplen di medsos namun saya ga bisa membayangkan bagaimana nasib teman-teman lain yang situasinya hendak upload penawaran.

Melihat permasalahan tersebut, sebagai Layanan Publik tentunya KemenPUPR harus memikirkan kepentingan penyedia, bagaimana sebanyak 28.773 penyedia mengakses LPSE KemenPUPR. Bagaimana tujuan memberikan pengamanan menjadi menghambat dan menghalangi penyedia dalam mengikuti kompetisi Tender, belum lagi secara keamanan sistim IT telah melibatkan  Badan Siber dan Sandi Negara. Apa yang hendak diamankan dengan TOTP ini ? toh dalam satu perusahaan yang diberikan akses untuk mencari paket, mendaftar, mendownload  dokumen dan mengupload dipegang beberapa orang. Untuk pengamanan agar dokumen penawaran tidak bocor sudah melibatkan enkripsi Apendo. Dari sisi penyedia kalo memang TOTP mengunci satu perangkat maka terpaksa harus membeli perangkat tersebut untuk dipakai bersama-sama para karyawan, sangat tidak efektif kalo kegiatan umum tersebut dikuasai hanya direktur atau karyawan tersebut, lagian sudah ada Pakta Integritas dan disclaimer bahwa user ID dan pasword adalah tanggung jawab masing-masing penyedia. 

Dari sisi kebijakan bicara SPSE LPSE maka kita bicara ketentuan BAB X tentang PENGADAAN BARANG/JASA SECARA ELEKTRONIK pada PS 16/18. Sangat jelas disebutkan bahwa LKPP mengembangkan SPSE dan sistem pendukung, lebih lengkapnya sebagai berikut:


Layanan Pengadaan Secara Elektronik
Pasal 69
  1. Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa dilakukan secara elektronik menggunakan sistem informasi yang terdiri atas Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan sistem pendukung.
  2. LKPP mengembangkan SPSE dan sistem pendukung.

Pasal 71
(1)  Ruang lingkup SPSE terdiri atas:
  1. Perencanaan Pengadaan;
  2. Persiapan Pengadaan;
  3. Pemilihan Penyedia;
  4. Pelaksanaan Kontrak;
  5. Serah Terima Pekerjaan;
  6. Pengelolaan Penyedia; dan
  7. Katalog Elektronik.
(2)  SPSE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki interkoneksi dengan sistem informasi perencanaan, penganggaran, pembayaran, manajemen aset, dan sistem informasi lain yang terkait dengan SPSE.
(3)  Sistem pendukung SPSE meliputi:
  1. Portal Pengadaan Nasional;
  2. Pengelolaan Sumber Daya Manusia Pengadaan
  3. Barang/Jasa;
  4. Pengelolaan advokasi dan penyelesaian
  5. permasalahan hukum;
  6. Pengelolaan peran serta masyarakat;
  7. Pengelolaan sumber daya pembelajaran; dan Monitoring dan Evaluasi.
  8. Bagian Kedua
Pasal 73
(1)  Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah menyelenggarakan fungsi layanan pengadaan secara elektronik.
(2)  Fungsi layanan pengadaan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pengelolaan seluruh sistem informasi Pengadaan Barang/Jasa dan infrastrukturnya;
pelaksanaan registrasi dan verifikasi pengguna seluruh sistem informasi Pengadaan Barang/Jasa; dan
pengembangan sistem informasi yang dibutuhkan oleh pemangku kepentingan.
(3)  LKPP menetapkan standar layanan, kapasitas, dan keamanan informasi SPSE dan sistem pendukung.
(4)  LKPP melakukan pembinaan dan pengawasan layanan pengadaan secara elektronik.
(5)  Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi layanan pengadaan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Lembaga. 

Terkait LPSE, cukup jelas bahwa tugas dan tanggungjawabnya ada pada LKPP, telah dilaksanakan oleh PLKPP 12/21 dimana pada Pasal 6 ayat 3-nya menyebutkan bahwa "Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan sistem pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Deputi" dimana pelaksannaannya telah dituangkan dengan diluarkannya Keputusan Deputi II Nomor 19 Tahun 2021 Panduan Penyesuaian Penggunaan Aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik Versi 4.4 dan 4.3 untuk Pelaksanaan Tender/Seleksi berdasarkan Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia (KDIILKPP 19/21) dan User Guide SPSE 4.4.
Update (16/12/21): berdasarkan surat jawaban LKPP, disebutkan bahwa Payung hukum penambahan fitur Two-Factor Authentication (2FA) Login Penyedia dan Non Penyedia menggunakan mekanisme Time-based One-time Password (TOTP) pada Aplikasi SPSE v4.4 dapat mengacu pada Keputusan Deputi Bidang Monitoring-Evaluasi dan Pengembangan Sistem Informasi Nomor 13 Tahun 2021 tentang Panduan Penggunaan Aplikasi Sistem Pengadaan Secara Elektronik Versi 4.4 pada diktum kesatu sampai dengan diktum ketujuh; dan File User Guidenya bernama User Guide TOTP SPSE v4.4 Penyedia dan Non Penyedia (Desember 2021) telah diupload pertanggal 11/12/21 dan dapat diunduh pada link berikut https://inaproc.id/unduh.....silahkan dianalisa sendiri.
    Menurut pandangan saya, KemenPUPR dalam hal ini telah melakukan Pengembangan Sistem Pendukung SPSE berupa penambahan fitur TOTP, alasannya sederhana yaitu pertama tidak adanya fitur tersebut dalam User Guide SPSE 4.4, kedua bahwa pengembangan tersebut masuk ruang lingkup tugas dan tanggungjawab LKPP dan saya juga belum melihat adanya kebijakan pelepasan tanggungjawab dari LKPP ke KemenPUPR. Bisa saja tindakan ini berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 207 tahun 2005 tentang Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Pemerintah Secara Elektronik.

Bagaimana dengan LPSE lain, ada 712 LPSE diseluruh Indonesia, jika masing-masing buat TOTP dan hanya memilih salah satu diantara Google AuthenticatorTufa atau FreeOTP saja maka bisa dibayangkan kacaunya Penyedia seperti apa? apalagi tidak ada sosialisasi, tanpa manual guide dan banyak BUGS-nya ....maksud baik jadi menghambat persaingan sehat. itu baru kendala 1 variabel jenis aplikasi 2FA saja, belum lagi kendala 1 User ID 1 Gadget Smartphone....kalo Penyedia pasti harus siapkan beberapa HP untuk 1 LPSE atau terpaksa kerjaan bolak-balik disable/able lalu unistal/instal aplikasi TOTP setiap kali ganti LPSE atau ganti HP...yang kaya itu operator dan perusahaan software 2FA, mengantisipasi ketergantungan Smartphone Android, Penyedia juga harus investasi HP Android yang bisa scan untuk ditinggal dikantor karena biasanya karyawan yang mengakses LPSE lebih dari satu.  Bagaimana dengan semangat "Kemudahan berusaha" yang digaungkan UU Cipta Kerja? Semoga Pejabat Publik di KemenPUPR bersedia mempertimbangkan kebijakan TOTP ini.

Update: 
LPSE Kementerian PUPR saat ini (25/09/2022) telah menggunakan SPSE Autheticator yang aplikasinya bisa diambil di Playstore.

Salam Kebijakan Publik.

Update : 
1. Saat ini LPSE kemenhub juga telah menerapkan TOTP
2. Artikel ini dibuat sebelum LKPP mengupload Manual Guide TOTP pertanggal 21 Desember 2021...untuk mendownloadnya silahkan klik disini

20 Oktober 2021

KONFERENSI PERS PENAHANAN PENYEDIA PINJAM BENDEERA (TERSANGKA) DI KABUPATEN BENGKALIS

16 Oktober 2021

OTT Bupati Kabupaten Musi Banyuasin


Catatan : Fee 15% 

15 Oktober 2021

Pertentangan Kepentingan....hati-hati nerapin kalo ga paham.

Hallo gaes, ternyata masih banyak EVALUATOR menggugurkan Penawaran Peserta dengan alasan Larangan Pertentangan Kepentingan terhadap tender yang menggunakan Metode Prakualifikasi. Untuk itu kurasa penting kita ketahui Apa sih itu Pertentangan Kepentingan?. Mari kita kupas satu persatu melalui kacamata kebijakan yang mengaturnya.

Menurut Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 16/18), Pasal 7 berbunyi:

  1. 1)  Semua pihak yang terlibat dalam Pengadaan Barang/Jasa mematuhi etika sebagai berikut: (kutipan) ........menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berakibat persaingan usaha tidak sehat dalam Pengadaan Barang/Jasa; ........

  2. 2)  Pertentangan kepentingan pihak yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dalam hal:

    1. Direksi, Dewan Komisaris, atau personel inti pada suatu badan usaha, merangkap sebagai Direksi, Dewan Komisaris, atau personel inti pada badan usaha lain yang mengikuti Tender/Seleksi yang sama;

    2. Konsultan perencana/pengawas dalam Pekerjaan Konstruksi bertindak sebagai pelaksana Pekerjaan Konstruksi direncanakannya/diawasinya, kecuali dalam pelaksanaan pengadaan pekerjaan terintegrasi;

    3. Konsultan manajemen konstruksi berperan sebagai konsultan perencana;

    4. Pengurus/manajer koperasi merangkap sebagai PPK/Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah;

    5. PPK/Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan baik langsung maupun tidak langsung mengendalikan atau menjalankan badan usaha Penyedia; dan/atau

    6. Beberapa badan usaha yang mengikuti Tender/Seleksi yang sama, dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh pihak yang sama, dan/atau kepemilikan sahamnya lebih dari 50% (lima puluh persen) dikuasai oleh pemegang saham yang sama.

Sangat jelas bahwa Etika PBJ mengenai pertentangan kepentingan yang dimaksud dalam hal poin a s/d f dilarang apabila menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagaimana yang telah diubah oleh Pasal 118 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 05/99), pada Pasal 1 angka 6 disebutkan:

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha”.

Selanjutnya disebutkan pada UU tersebut bahwa dalam rangka menghindari persaingan usaha tidak sehat.” Dilakukan larangan sebagai berikut:

(1) Pasal 7 berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

(2) Pasal 8 berbunyi:
Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

(3) Pasal 14 berbunyi:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.”

(4) Pasal 21 berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang
melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

(5) Pasal 22 berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

(6) Pasal 23 berbunyi:
“Pelaku usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Jadi dapat disimpulkan norma terkait Pertentangan kepentingan diatur oleh PS 16/18 dimana Larangannya diatur pada UU 05/99. Lantas bagaimana pelaksanaanya terkait Tender sebagaimana yang dimaksud pada pasal 22 UU 05/99 diatas. Mari kita bahas dan kupas tuntas ......

Norma pada PS 16/18 jo PS 12/21 sebagian pelaksanaannya dilakukan oleh LKPP dan untuk itu dikeluarkanlah Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PLKPP 12/21). Selanjutnya berdasarkan PLKPP 12/21 tersebut, baik itu pada lampiran I, II maupun III, terdapat kalimat pada angka 4.1.1 tentang pelaksanaan Prakualifikasi, Huruf e tentang Evaluasi Dokumen Kualifikasi yang berbunyi “Prakualifikasi belum merupakan ajang kompetisi maka data yang kurang masih dapat dilengkapi sampai dengan 3 (tiga) hari kalender setelah Pokja Pemilihan menyampaikan hasil evaluasi, diakhiri pada hari kerja dan jam kerja”. Selanjutnya masih pada PLKPP 12/21, pada Lampiran IV, V dan VI diberbagai Model Dokumen Pemilihan (MDP) diatur lebih lanjut ketentuan sebagai berikut:

“Prakualifikasi belum merupakan ajang kompetisi maka data yang kurang masih dapat dilengkapi setelah Pokja Pemilihan menyampaikan hasil evaluasi kualifikasi, dengan cara:

  1. a)  Setelah jadwal tahapan evaluasi kualifikasi berakhir, Pokja Pemilihan menyampaikan informasi kekurangan data kualifikasi kepada peserta yang memiliki data kualifikasi tidak lengkap melalui fasilitas pengiriman data kualifikasi pada SPSE;

  2. b)  Peserta yang mendapatkan informasi kekurangan data kualifikasi, dapat menyampaikan kekurangan data kualifikasi yang diminta oleh Pokja Pemilihan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kalender setelah Pokja Pemilihan menyampaikan hasil evaluasi, diakhiri pada hari kerja dan jam kerja.

  3. c)  Kekurangan data kualifikasi yang disampaikan melebihi 3 (tiga) hari kalender setelah Pokja Pemilihan menyampaikan hasil evaluasi, maka data kualifikasi tersebut tidak diterima; dan

  4. d)  Pokja Pemilihan melakukan evaluasi terhadap kekurangan data kualifikasi yang disampaikan oleh Peserta. “

Berdasarkan kajian saya tentang MDP wajibkah diikuti? (bisa dilihat pada

https://www.kebijakanpublikpengadaanbarangjasapemerintah.com/2021/09/mdp-wajibkah-diikuti.html ) maka ketentuan pada Lampiran IV, V dan VI bisa saja tidak sama dengan Dokumen Pemilihan namun tetap tidak boleh mellewati batas yang diatur pada Lampiran I, II & III maupun Peraturan Perundang-Undangan diatasnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa:

  1. Ketentuan Larangan Pertentangan kepentingan sebagaimana yang dimaksud oleh UU 05/99 tidak berlaku pada tahapan kualifikasi untuk Metode Pemilihan Penyedia melalui tender Prakualifikasi. Dalam hal ini EVALUATOR memberi kesempatan bagi Penyedia untuk melengkapi persyaratan agar dapat memenuhi kualifikasi. Kes4an itu diberikan paling lama 3 hari kalender setelah hasil kualifikasi disampaikan.

  2. Larangan pertentangan kepentingan berlaku mutlak apabila Metode Pemilihan Penyedia melalui tender Pascakualifikasi atau pada tahap Proses Pemilihan pada Metode Prakualifikasi. Perlu kehati-hatian menerapkan pasal ini karena setelah menemukan Pertentangan Kepentingan sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 7 PS 16/18 tersebut maka langkah selanjutnya Evaluator harus memastikan telah terjadi persaingan tidak sehat dengan dibuktikan adanya pelanggaran terhadap Larangan pada UU 05/99 sebagaimana dijabarkan diatas khususnya pada pasal 22.

Berdasarkan jabaran diatas maka pertanyaan besar selanjutnya adalah: 

  1. Bagaimana bila ada 2 Penawar atau lebih yang menawarkan Personil Inti yang sama, bukankah ini melanggar PS 16/18 Pasal 7 ayat 2 huruf a.
  2. Bagaimana BUMD yang memenangkan Tender yang POKJA/PPK/KPA/PA dikendalikan Pimpinan yang sama, bukankah ini melanggar PS 16/18 Pasal 7 ayat 2 huruf e.
  3. Bagaimana Praktek para BUMN Karya yang saham kepemilikannya dimiliki dan dikendalikan pihak yang sama? Bukankah ini melanggar PS 16/18 Pasal 7 ayat 2 huruf f.

Mari teman-teman jawab sendiri, sengaja saya tidak jawab soalnya saya juga punya kepentingan untuk tidak menjawabnya...😁😁, kebijakan itu sederhana....”tergantung kepentingan”.