—————————— ◆ ——————————
1. PENDAHULUAN
Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Pemerintah adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/ Perangkat Daerah (K/L/PD) yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan yang terdiri dari belanja Barang/Jasa (Barjas) serta Belanja Modal. Kebijakan Pengadaan di Indonesia saat ini diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/18'). Pengadaan Barang/Jasa dalam Perpres ini meliputi: Barang; Pekerjaan Konstruksi; Jasa Konsultansi; dan Jasa Lainnya.
PBJ sendiri dilaksanakan dengan dua cara yaitu Swakelola; dan/atau Penyedia. Swakelola adalah cara memperoleh barjas yang dikerjakan sendiri oleh K/L/PD, K/L/PD lain, organisasi masyarakat (Ormas), atau kelompok masyarakat (Pokmas) sedangkan Penyedia adalah badan usaha atau perseorangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu yang menyediakan barjas berdasarkan kontrak.
Penelitian ini dilakukan dalam rangka menjawab keluhan Penyedia golongan Usaha Mikro Kecil (UMK). Mereka mempertanyakan maraknya Pengadaan yang dibiayai oleh Belanja Negara/Daerah yang dilakukan tanpa diketahui publik secara meluas, pengadaan ini juga dilaksanakan tanpa melalui Proses Tender karena langsung dikerjakan oleh Aparat Sipil Negara (ASN), Ormas dan Pokmas. Pengadaan tersebut antara lain pekerjaan pembangunan, rehab maupun pemeliharaan gedung, pengadaan pakaian, tenaga cleaning services/keamanan dan lainnya. Terjadi kecemburuan sosial dan Ekonomi antara UMK yang merupakan Badan Usaha yang mengeluarkan modal kerja (Peralatan, Tenaga Kerja dan Perizinan berusaha) terhadap ASN, Ormas dan Pokmas yang bukanlah Badan Usaha sama sekali namun mendapat perhatian khusus dari Negara dengan porsi yang sangat besar. Kecemburuan tersebut diperparah Pandemi Covid-19 yang membuat ekonomi UMK semakin terpuruk karena sektor Swasta harapan terakhir pengguna barang/jasa-nya ternyata berhenti total, disisi lain alokasi Belanja Negara/Daerah untuk porsi Penyedia ternyata juga banyak yang stop maupun dialihkan ke Penanganan Covid. Dengan kajian ini, besar harapan dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang dialami mereka.
Berdasarkan Laporan Kinerja Pelaksanaan PBJ K/L/PD tahun 2022 data end year 2022 (
https://monev.lkpp.go.id/flipbookkl/) yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (
LKPP), total Rencana Umum Pengadaan (RUP) Belanja Barang/Jasa Pemerintah tahun 2022 yang diumumkan di Sistem RUP sebesar Rp. 1.204,97 Triliun (
T). Dari Total RUP barjas tersebut, Rp. 410,37 T(34,10%) direncanakan dikerjakan melalui swakelola murni tanpa penyedia dan selebihnya dikerjakan melalui Penyedia Rp. 794,6 T (65,9%). Dari total alokasi penyedia, hanya Rp. 181,25 T (22,8%) diperuntukkan bagi UMK. Berdasarkan olahan data dari Overview RUP 2022 LKPP (
https://lookerstudio.google.com/embed/u/0/reporting/4482ff4e-f62b-4454-98eb-7ebae94e3401/page/IjAmC),
total jumlah paket dialokasikan untuk Swakelola adalah sebanyak 1.790.215 (35,8%) dengan rata-rata nominal per paket swakelola adalah sebesar Rp. 229.229.450,-(diolah).
Berdasarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, KecilL, dan Menengah maka ambang batas nilai hasil penjualan tahunan paket pengadaan barang jasa yang bisa dikerjakan UMK adalah paling banyak Rp. 2.500.000.000, -(Dua Milyar Lima Ratus Juta Rupiah), namun oleh Pasal 85 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja tentang perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, nilai tersebut telah dinaikkan menjadi Rp. 15.000.000.000, -(Lima Belas Milyar Rupiah) yang diberlakukan sejak tanggal 20 November 2020. Rata-rata Nominal Paket Swakelola masih berada dibawah ambang batas nilai hasil penjualan tahunan paket pengadaan barang jasa yang bisa dikerjakan UMK.
Berdasarkan data resmi Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tahun 2020-2024 (
https://kemenkopukm.go.id/uploads/laporan/1600168483_RENSTRA%202020-2024%20OK.pdf) bahwa pada tahun 2018 terdapat jumlah UMK sebanyak 64.283.132 Unit (olahan data). Berdasarkan LKPP dalam surat jawaban permohonan Informasi publik nomor 21327/Ses.3/10/2021 bahwa pertanggal 28 September 2021 terdapat sebanyak 429.868 Penyedia yang terdaftar di LPSE. Dengan asumsi bahwa Penyedia seluruhnya adalah UMK maka dapat dikatakan hanya 0,27% saja UMK yang ikut berpartisipasi langsung pada pasar PBJ. Untuk dapat mengikuti kegiatan Pengadaan Pemerintah, setiap penyedia diwajibkan memiliki Akun Elektronik dengan cara mendaftar di LPSE tentunya setelah memenuhi persyaratan dasar seperti Perizinan dan Legalitas badan usaha, tanpa akun LPSE maka UMK hanya dapat berpartisipasi sebagai subpenyedia.
Di level Internasional terdapat Dua Pedoman Pengadaan yaitu World Trade Organization (WTO) dengan pedoman Agreement on Government Procurement (GPA 2012) dan United Nations (UN) dengan pedoman UNCITRAL Model Law on Public Procurement of Goods, Construction and Services (2011). Meskipun begitu, kebijakan PBJ Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi satupun pedoman tersebut dan menggunakan Peraturan Presiden sebagai kebijakan tertinggi dalam mengatur PBJ-nya.
Indonesia resmi memperkenalkan Swakelola sebagai Metode/Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemborongan dan Jasa lainnya melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan masih tetap dipakai hingga saat ini, di European Union (EU), Swakelola (In-House) pertama sekali diperkenalkan pada kebijakan Directive 2004/18/EC, namun aturan ini telah dicabut oleh Directive 2014/24/EU dan dinyatakan sebagai pengadaan pengecualian yang dilaksanakan secara sangat ketat.
PBJ di Indonesia yang tunduk kepada Perpres 16/18' dilaksanakan sesuai prinsip Efisien; Efektif; Transparan; Terbuka; Bersaing; Adil; dan Akuntabel. PBJ menurut GPA 2012 hanya berdasarkan prinsip Non-discrimination, Transparency and Procedural fairness. PBJ menurut Model Law (2011) mengacu kepada prinsip Objectivity, Fairness, Participation, Competition, and Integrity. Terkait Swakelola, baik GPA 2012 maupun Model Law (2011) tidak menyarankan dilakukan pada PBJ yang nilainya berada diatas Nilai Ambang Batas namun untuk yang nilainya dibawah ambang batas maka kebijakannya diserahkan kepada negara masing-masing. Sebagai perbandingan, kami mengacu ke Jerman mengingat 90% dari total jumlah PBJ-nya (75% dari total nilai pagu) berada di bawah ambang batas EU (2018), disamping itu Negara ini juga terkenal memiliki sistem pengadaan yang cepat, fleksibel, efisien, dan rendah birokrasi. PBJ yang dibawah Ambang batas EU harus mematuhi kebijakan Unterschwellen-vergabeordnung Edisi 2017. Prinsip mereka adalah Transparansi, Persaingan, non diskriminasi, Perlakuan yang sama, Kepentingan untuk usaha kecil dan menengah, Keberlanjutan dan e-Procurement. Swakelola di Jerman adalah prosedur yang dikecualikan dan pengawasannya sangat ketat yang tidak boleh melanggar prinsip Kepentingan untuk Usaha Kecil dan Menengah, meskipun tidak ada larangan namun pada prakteknya Swakelola hampir mustahil ditemukan.
Tata cara swakelola di Indonesia diatur Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola (PLKPP 03/21). Swakelola dilaksanakan manakala barjas yang dibutuhkan tidak dapat disediakan atau tidak diminati oleh pelaku usaha atau lebih efektif dan/atau efisien dilakukan oleh Pelaksana Swakelola. Swakelola dapat juga digunakan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya/kemampuan teknis yang dimiliki pemerintah, barjas yang bersifat rahasia dan mampu dilaksanakan oleh K/L/PD yang bersangkutan, serta dalam rangka peningkatan peran serta/pemberdayaan Ormas dan Pokmas. Swakelola dilaksanakan oleh Penyelenggara Swakelola yang terdiri dari: Tim Persiapan, Tim Pelaksana, dan Tim Pengawas. Untuk Jenis Tipe Swakelola dan penetapan Penyelenggaranya sendiri adalah sebagai berikut: