Media ini mengulas Kebijakan Pengadaan Indonesia & Dunia (UNCITRAL, WTO & European Union) serta Lembaga Pembiayaan Dunia (WB, ADB, IsDB). Pendekatannya melalui teori Kebijakan Publik terkait Peraturan Presiden nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres/16/2018 seperti pada gambar atas) sehingga menarik untuk dibaca para Investor Asing, Pengamat, Akademisi, Rantai Pasok, dan pastinya bagi Pelaku Pengadaan Indonesia.
Layanan Konsultasi.
Translate
SEKILAS PANDANG
CARI DI BLOG INI
23 April 2022
UMK Di Anaktirikan ???
22 April 2022
Kemudahan Usaha Mikro Kecil dalam Pengupahan
Masih terkait tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil (UMK) sebagaimana pernah saya bahas di artikel Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan UMK dalam PBJ-P dan KAJIAN INPRES 02/2021 : PERCEPATAN PENINGKATAN PENGGUNAAN PRODUK DALAM NEGERI DAN PRODUK UMK DAN KOPERASI DALAM RANGKA MENYUKSESKAN GERAKAN NASIONAL BANGGA BUATAN INDONESIA PADA PELAKSANAAN PBJ-P, maka kali ini saya akan kupas bagaimana Kemudahan UMK dalam hal Upah Pekerja sebagai salah satu urusan yang masuk di Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Upah Kerja secara khusus diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 tahun tentang Pengupahan yang menggantikan peraturan sebelumnya yaitu PP nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. PP 36 merupakan aturan pelaksanaan dari UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah oleh pasal 81 pada UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Upah adalah hak Pekerja/Buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari Pengusaha atau pemberi kerja kepada Pekerja/Buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu Perjanjian Kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi Pekerja/Buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Pemerintah dalam merencanakan Pagu ataupun Harga Perkiraan Sendiri (HPS) belanja Barang/Jasa-nya membutuhkan besaran Upah sebagai salah satu komponen selain Harga Material/barang, transportasi dan lain-lain. Penyedia dalam hal menyusun Harga juga memakai besaran Upah dalam memberikan harga penawaran.
Standar upah yang dipakai Penyedia Konstruksi lebih fleksible karena tergantung kesepakatan dengan calon pekerja, pimpinan pekerja atau bahkan pemborong upah. Kesepakatan itu biasanya membicarakan biaya transportasi, tempat tinggal, makanan, lembur, safety tools seperti baju, helm, sepatu, sarung tangan. Dalam banyak hal, pengupahan pada Jasa Konstruksi tidak bisa disamaratakan dengan pengupahan Buruh di Industri lain seperti Pabrik, Kantor dan lainnya mengingat durasi pekerjaan Industri Konstruksi yang pendek. Mungkin bisa saja proyek berlangsung 2 tahun atau lebih, namun setiap tahapan pekerjaan sudah harus selesai untuk masuk ke tahap berikutnya. Sebagai contoh Tahapan Struktur akan bisa dilakukan jika tahapan pekerjaan tanah telah rampung, dalam hal ini pekerja tanah akan diputus karena keahliannya tidak dapat dipakai di pekerjaan struktur. Oleh karena itu sangat penting membicarakan dan menyepakati segala hal terkait Upah yang diberikan kepada pekerja.
Sebagai pemerhati nasib UMK di Pasar Pengadaan barang/Jasa Pemerintah (PBJ), ternyata filosofi kebijakan pemberian Kemudahan bagi UMK tetap tercermin di Peraturan ini bahkan sangking khususnya dimuat pada satu bab khusus yaitu Bab VI yang terdiri dari pasal 36, 37 dan 38 yang berbunyi sebagai berikut:
-
BAB VIUPAH TERENDAH PADA USAHA MIKRO DAN USAHA KECIL
Pasal 36
-
(1) Ketentuan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 35 dikecualikan bagi usaha mikro dan usaha kecil.
-
(2) Upah pada usaha mikro dan usaha kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh di Perusahaan dengan ketentuan:
-
paling sedikit sebesar 50% (lima puluh persen) dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi; dan
-
nilai Upah yang disepakati paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi.
-
-
(3) Rata-rata konsumsi masyarakat dan garis kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
Pasal 37
Usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) harus memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 38
Usaha mikro dan usaha kecil yang dikecualikan dari ketentuan Upah minimum wajib mempertimbangkan faktor sebagai berikut:
a. mengandalkan sumber daya tradisional; dan/atau
b. tidak bergerak pada usaha berteknologi tinggi dan tidak padat modal.
Bagaimana penjelasan atas pasal tersebut diatas ternyata pada Penjelasan atas PP 36 dinyatakan "Cukup Jelas" sehingga seharusnya tidak perlu ditafsirkan kembali.
Lantas bagaimana kaitannya pada PBJ ?
Dalam hal penyusunan harga pemerintah pada PBJ, selalu mengacu kepada standar upah minimum dimana selanjutnya setelah memasuki tahap pemilihan penyedia seperti tender, maka salah satu komponen yang dievaluasi adalah upah pekerja yang ditawarkan. Berbeda dengan penyedia, upah yang dipakai justru memakai harga yang disepakati dengan para pekerjanya, kesepakatan ini biasanya cenderung jauh lebih murah karena adanya sistem borongan upah/mandoran atau bahkan ada yang malahan dikerjakan langsung oleh pemilik/keluarga pengusaha tersebut.
Khusus untuk Jasa konstruksi, sifat pekerjaannya adalah Padat Karya sehingga apabila pekerjaannya dilakukan oleh UMK maka pengecualian pada Bab VI PP 36 memenuhi syarat sehingga tidak harus mengikuti ketentuan tentang upah minimum provinsi. Ini berdampak kepada penerapan prosedur analisa harga satuan pekerjaan pada penawaran yang diajukan oleh UMK tidak dapat diterapkan. Tentunya ini demi kepastian hukum tentang pemberian pemberian kemudahan dalam berusaha khususnya penggunaan produk dalam negeri yang dikerjakan oleh pengusaha mikro dan kecil.
21 April 2022
Procurement System in Indonesia
- The President of The Republic of Indonesia number 12 of 2021
- The Republic of Indonesia Number 16 of 2018
12 April 2022
Sistem pengadaan publik di Prancis
Perundang-undangan yang relevan di Perancis terdiri dari Ordinance no. 2015-899 23.07.2015 yang berisi kerangka hukum keseluruhan untuk pengadaan publik di Perancis, Decree no. 2016-360 tanggal 25.03.2016, yang berisi rincian dan aturan untuk penerapan Ordinance dan Decreen no.2017-516 tanggal 10.04.2017 yang mengubah Decree 2016-360 tanggal 25.03.2016. Seperti negara-negara lain di UE, undang-undang pengadaan Prancis mengubah aturan di tingkat Eropa. Ketentuan hukum ini mengacu pada UE dan perjanjian internasional di mana UE menjadi bagiannya (Holterbach, K., Dubrulle, J., B., 2018). Masih menurut penulis yang sama, prinsip-prinsip pengadaan publik di Prancis adalah:
- Transparansi dimana otoritas kontraktor harus mengkomunikasikan terlebih dahulu semua elemen penting dari pengadaan;
- Perlakuan yang sama di mana otoritas kontraktor akan menyediakan informasi yang sama kepada calon peserta tender;
- Akses terbuka dan tidak terbatas ke prosedur pengadaan: pengumuman publik dan kompetisi adalah wajib untuk memungkinkan calon tender bersaing;
- Efisiensi penggunaan dana publik
Aspek ini penting karena ketika terjadi situasi/masalah tertentu (yang tidak diatur), harus diselesaikan sesuai dengan prinsip. Dengan kata lain, prinsip-prinsip harus selalu dihormati, dalam kondisi di mana tujuan dapat dicapai atau tidak, tergantung pada kasusnya. Dari sudut pandang ini, undang- undang di Prancis bertujuan untuk mendapatkan efek maksimum untuk sumber daya yang dikonsumsi (dana anggaran).
Di Prancis, peraturan dan keputusan tersebut berlaku jika otoritas kontrak ingin membeli layanan, pekerjaan atau produk yang nilainya melebihi 25.000 Euro. Ambang nilai (tidak termasuk PPN) untuk prosedur pengadaan di Prancis adalah sebagai berikut:
- 25.000 Euro (sekitar 412 jt) untuk Pengadaan langsung (bukan prosedur)
- 135.000 Euro (sekitar 2,22 M) untuk produk dan layanan yang dibeli oleh otoritas negara bagian dan lembaga administratif;
- 209.000 Euro (sekitar 3,44 M) untuk produk atau layanan yang dibeli oleh otoritas lokal dan lembaga administratif mereka;
- 418,000 Euro (sekitar 6,89 M) untuk pembelian sektoral atau pertahanan
- 5.225.000 Euro (sekitar 86,2 M) untuk pekerjaan.
Ketika nilai perkiraan tidak melebihi 25.000 Euro, tidak perlu melakukan prosedur (tender). Jika perkiraan nilai antara 25.000 Euro dan ambang batas yang disebutkan, otoritas kontraktor dapat melakukan prosedur sesuai dengan prinsip-prinsip perlakuan yang sama, akses terbuka dan transparansi (tanpa persyaratan ini menjadi kewajiban). Ketika nilai perkiraan melebihi ambang batas pada angka 2 sampai 6 diatas maka AWARD PROCEDURE (AW) harus diterapkan.
Menurut Holterbach, K. dan Dubrulle, J., B., (2018), di Prancis, AW dapat mengambil bentuk berikut:
- Panggilan untuk tender ("appel d'offre")
- Prosedur kompetitif dengan negosiasi;
- Dialog kompetitif.
kriteria penghargaan, faktor penilaian, bobotnya, atau algoritme perhitungannya diterbitkan dalam dokumentasi penghargaan dan tidak dapat diubah selama prosedur. Kriteria penghargaan dalam hukum Prancis adalah:
- kriteria tradisional "harga terendah" di mana penawar yang memberikan harga terendah dinyatakan sebagai pemenang;
- "rasio harga kualitas terbaik";
- "biaya terendah", biaya yang ditetapkan pada siklus hidup produk dan terdiri dari biaya produksi, biaya operasi (penggunaan), biaya pemeliharaan dan biaya siklus akhir hidup .
Di Prancis, tender sering dianalisis menggunakan faktor penilaian seperti kualitas, jangka waktu pengiriman, kualitas tim tender yang melakukan kontrak, aspek pembangunan berkelanjutan, perlindungan lingkungan, perlindungan sosial, inklusi sosial, keanekaragaman hayati. Seperti dapat dilihat, di Prancis tidak ada kriteria rasio kualitas-biaya terbaik.
Dari apa yang dapat dilihat, cara menghitung harga yang luar biasa rendah di Prancis sangat tepat tanpa meninggalkan apresiasi sewenang-wenang dari otoritas kontrak. Dari sudut pandang ini, sehubungan dengan harga yang luar biasa rendah, undang-undang Prancis menghilangkan kesewenang-wenangan dan sepatutnya menerapkan prinsip perlakuan yang sama dari tender.
The situation of the main characteristics of public procurement systems in France
Sistem pengadaan publik di Prancis berada di bawah tanggung jawab Kementerian Ekonomi dan Keuangan (MINEFI - Ministere de l'Economie des Finances et de l'Industrie), dengan lembaga pengadaan terpusat, Agen pengadaan yaitu Union for Grouping Procurement (UGAP - Union des Groupements d'Achats Publics) di tingkat nasional.
Di Prancis, prosedur pengadaan dilakukan oleh sekitar 200.000 pekerja dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, departemen kota, struktur, struktur antar kota, dan lembaga kesehatan. Staf pengadaan publik dilatih di empat sekolah layanan publik utama: di tingkat pusat, Sekolah Administrasi Nasional (ENA– Ecole Nationale d'Aministration), dan di tingkat teritorial, Institut Nasional untuk Studi Teritorial (INET– Institut National de Etudes Territoriales), Pusat Layanan Publik Teritorial Nasional (CNFPT– Center National de la Fonction Publique Territoriale) dan untuk layanan kesehatan (rumah sakit) Sekolah Kesehatan Masyarakat Nasional (EHESP – Ecole des Hautes Etudes en Sante Publique (SACEU - Prancis, 2014) ).
Holterbach, K., Dubrulle, J., B. (2018) Public Procurement 2018/France (ICLG - Internațional Comparative Legal Guides)
10 April 2022
In-HOUSE PROCUREMENT exception: threat for sustainable procedure of Public procurement?
Lagi panas perdebatan Kebijakan in-House, banyak menuai protes dari para pelaku Usaha Mikro dan Kecil, uniknya perdebatan menjadi tidak ilmiah, tidak sehat bahkan berujung saling menyalahkan. Untuk itu saya coba mencari suatu referensi kajian akademis yang menurut saya dapat menjadi bahan pertimbangan in-House tersebut sebaiknya diapakan. Good News-nya ternyata Parlemen dan Dewan Uni Eropa (UE) pada tahun 2014 telah mencabut Directive 2004/18/EC dan menyatakan in-House adalah pengadaan pengecualian yang dilaksanakan secara Super Ketat sebagaimana diatur pada Pasal 12 Directive 2014/24/EU. Di beberapa Universitas yang terdapat di UE telah mengkaji kerugian dari in-House ini dan salah satunya coba saya sajikan ulang yaitu dari Jurnal In-HOUSE PROCUREMENT exception: threat for sustainable procedure of Public procurement? oleh Virginijus Kanapinskas dkk. Dari jurnal ini coba saya kutip kesimpulannya saja namun saya tetap menyarankan agar kita semua membaca versi jurnal aslinya dengan mengklik disini.
Abstrak: