Layanan Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Dokumen Tender & Peraturan Direksi terkait Pengadaan). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

CARI DI BLOG INI

22 Maret 2022

Tarif Resmi SERTIFIKASI - SKK


Sumber: mediaindonesia.com


Besaran Biaya Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi yang dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi terlisensi dan teregistrasi disusun berdasarkan:

  1. Biaya pelaksanaan uji kompetensi kerja;

  2. Biaya operasional; dan

  3. Biaya pemberdayaan sumber daya manusia lembaga sertifkasi profesi. 

Besaran biaya Sertifikasi Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud, dibedakan berdasarkan:

  1. Jenjang Kualifikasi Kerja Nasional Indonesia (KKNI);

  2. Jenis permohonan yang terdiri atas:

    1. Permohonan baru;

    2. Permohonan perpanjangan; dan

    3. Permohonan kenaikan jenjang atau kualifikasi, yang mengacu pada besaran biaya permohonan baru (daring atau luring); dan

  3. Metode pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja yang meliputi luar jaringan (luring), dalam jaringan (daring), dan onsite.

 Biaya tersebut mencakup:

  1. Honorarium Asesor Kompetensi;

  2. Biaya Tempat Uji Kompetensi (TUK) untuk jenjang kualifikasi 1 (satu) hingga 6 (enam) untuk pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja dengan metode luring;

  3. Biaya sewa alat dan biaya material praktek untuk pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja dengan metode luring;

  4. Biaya akomodasi Asesor Kompetensi untuk pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja dengan metode luring;

  5. Biaya transportasi dan akomodasi Asesor Kompetensi untuk pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja dengan metode onsite;

  6. Biaya paket data Asesor Kompetensi untuk pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja dengan metode daring;

  7. Biaya pembuatan dan/atau penggandaan materi uji;

  8. Biaya blanko sertifikat;

  9. Biaya administrasi;

  10. Biaya overhead cost;

  11. Biaya pengembangan SDM; dan

  12. Biaya pajak penghasilan (PPh) atas honorarium Asesor Kompetensi.

  13. Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

Biaya Sertifikasi Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud, tidak termasuk:
a. Biaya TUK untuk jenjang kualifikasi 7 (tujuh) hingga 
9 (sembilan) untuk pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja atas permohonan baru dengan metode luring; dan

b. Biaya sewa alat yang bersifat spesialis dalam  pelaksanaan uji kompetensi untuk permohonan baru dengan metode luring; 

A. PERMOHONAN BARU

*) permohonan baru untuk jenjang kualifikasi 7 (tujuh) bagi lulusan baru (fresh graduate) yang sudah mendapatkan kompetensi tambahan sebanyak 32 JPL dan SIBIMA Konstruksi dan Sertifikat Kompetensi Kerja hanya berlaku selama 1 (satu) tahun. 

Update: 15/07/2022

Telah keluar Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 713 /KPTS/M/2022 tentang Penetapan Besaran Biaya Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi dan Sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi yang dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Bidang Jasa Konstruksi. Adapun tarif baru sebagai berikut:



B. PERPANJANGAN SERTIFIKAT

Pelaksanaan sertifikasi untuk jenjang kualifikasi 4 (empat) sampai dengan 6 (enam) dapat dilakukan secara hybrid dimana ujian teori dilakukan secara daring dan praktik dilakukan secara luring. 

Update: 15/07/2022

Telah keluar Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 713 /KPTS/M/2022 tentang Penetapan Besaran Biaya Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi dan Sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi yang dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Bidang Jasa Konstruksi. Adapun tarif baru sebagai berikut:



C. RINCIAN HONORARIUM ASESOR KOMPETENSI*) 

Besaran biaya Asesor Kompetensi ini telah tercakup dalam besaran biaya Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi sebagaimana tercantum dalam Tabel I dan Tabel II pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.

Untuk permohonan baru untuk jenjang kualifikasi 7 (tujuh) bagi lulusan baru (fresh graduate), pelaksanaan uji kompetensinya menggunakan 1 Asesor Kompetensi, sehingga honorarium Asesor Kompetensi merupakan honorarium untuk 1 (satu) orang Asesor Kompetensi. 

Update: 15/07/2022

Telah keluar Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 713 /KPTS/M/2022 tentang Penetapan Besaran Biaya Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi dan Sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi yang dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Bidang Jasa Konstruksi. Adapun tarif baru sebagai berikut:




Sumber:

Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 559/KPTS/M/2021 tentang Penetapan Besaran Biaya Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi dan Sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi yang Dilaksanakan oleh Lembaga Sertifikasi Bidang Jasa Konstruksi.


12 Maret 2022

Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan UMK dalam PBJ-P

Salah satu kepentingan tertinggi Negara saat ini adalah memberikan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan UMK, dan hal ini menjadi bahan pertimbangan yang melatarbelakangi dikeluarkannya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU11/20). Terkait kepentingan tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan nomor 07 tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP07/21). 

Pada sisi Pelaku Usaha, Pemerintah menentukan bahwa yang dimaksud dengan Usaha Mikro (UM) adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan yang dimaksud dengan Usaha Kecil (UK) adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil. Adapun kriteria yang dimaksud adalah:  

a. Usaha Mikro memiliki:  
  • modal usaha sampai dengan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau
  • hasil penjualan tahunan sampai dengan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); 
b. Usaha Kecil memiliki: 
  • modal usaha lebih dari Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
  • hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); 
Selain itu, pemerintah juga sangat memikirkan Nasib 64.283.132 UMK (Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 2020) untuk memberdayakan sebagai Penyedia kebutuhan Barang/Jasa Pemerintah meskipun baru hanya 329.799 penyedia yang terverifikasi di LPSE dan hanya 50.669 penyedia yang aktif ikut lelang (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, 2019). Keperdulian tersebut setidaknya tertuang didalam kebijakan PBJ-P pada satu paragraf khusus yang isinya sebagai berikut:

Paragraf 6

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Pasal 81

(1) Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah wajib menggunakan barang/jasa Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta Koperasi dari hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

(2) Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengalokasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari nilai anggaran belanja barang/jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

(3) Pemberian pengalokasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.

(4) Penyedia usaha besar dan Usaha Menengah yang melaksanakan pekerjaan harus melakukan kerja sama usaha dalam bentuk kemitraan dengan Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang memiliki kemampuan di bidang yang bersangkutan.

Pasal 82

(1)  Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara mendorong badan usaha milik negara untuk mengutamakan penggunaan hasil produksi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam pengadaan barang/jasa.

(2)  Pemerintah Daerah mendorong badan usaha milik daerah untuk mengutamakan penggunaan hasil produksi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam pengadaan barang/jasa.

Pasal 83

(1)  Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memasukkan rencana belanja barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan paling lambat di bulan November tahun berjalan untuk rencana belanja tahun mendatang.

(2)  Rencana belanja tahun mendatang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan dengan sistem informasi data tunggal.

Pasal 84

(1)  Pembayaran kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi dengan nilai pagu anggaran/kontrak kurang dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dibayar langsung.

(2)  Pembayaran kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi dengan nilai pagu anggaran/kontrak antara Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) diberikan uang muka paling sedikit 50% (lima puluh persen).

(3)  Pembayaran kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi dengan nilai pagu anggaran/kontrak antara nilai lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan nilai Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) diberikan uang muka paling sedikit 30% (tiga puluh persen).

Pasal 85

(1)  Menteri/menteri teknis/kepala daerah wajib melakukan pengawasan pengalokasian dan pelaksanaan pengadaan barang/jasa untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi melalui aparat pengawasan internal pada kementerian/lembaga/Pemerintah Daerah.

(2)  Menteri berkoordinasi dengan lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan barang/jasa bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi.

(3)  Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:

a. audit;
b. reviu;
c. pemantauan;
d. evaluasi; dan/atau
e. penyelenggaraan mekanisme pengaduan(whistleblowing system).

(4)  Penyelenggaraan mekanisme pengaduan (whistleblowing system) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dapat menggunakan penyelenggaraan mekanisme pengaduan (whistleblowing system) yang sudah berjalan.

(5)  Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dari tahap:

a. perencanaan;
b. penganggaran;
c. persiapan;
d. pemilihan penyedia;
e. pelaksanaan kontrak; dan
f. serah terima pekerjaan dan pelaporan.

(6)  Ruang lingkup pengawasan keterlibatan Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi pada pengadaan barang/jasa meliputi:

a. pemenuhan kewajiban pengalokasian sebesar 40% (empat puluh persen) untuk produk barang dan jasa Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi; dan
b. realisasi atas belanja produk barang dan jasa Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi.

(7)  Hasil pengawasan digunakan untuk pengendalian pelaksanaan pengadaan barang/jasa.

Pasal 86

(1) Monitoring dan evaluasi pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dilakukan oleh Menteri.

(2)  Menteri menyediakan laman sistem monitoring dan evaluasi pengadaan barang/jasa pada sistem informasi data tunggal.

(3)  Monitoring dan evaluasi dilakukan secara reguler dan dilaporkan kepada Presiden paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun pada bulan Juni dan Desember pada tahun berjalan.

Pasal 87

Realisasi pelaksanaan pengalokasian 40% (empat puluh persen) pengadaan barang/jasa Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi yang dilakukan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah dipublikasikan secara transparan kepada masyarakat. 


Paragraf 6 pada PP07/16 adalah Norma baru bagi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS16/18) dan turunannya dengan kata lain apabila ada pertentangan/multi tafsir maka sesuai Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka PP07/16 yang harus diikuti . 

Melihat adanya kebijakan Alokasi 40% anggaran; Usaha Menengah-Besar harus memberdayakan UMK; K/L/PD/BUMN/BUMD harus mengutamakan UMK; paket-paket UMK diumumkan di SiRUP/Data tunggal paling lambat bulan November dan adanya skema Pemberian Uang Muka pastinya serasa mimpi ditengah resesi ekonomi dimasa pandemi, semoga tidak di PHP-in he3x.

Lantas bagaimana dengan :

  1. Belanja PBJ pada SiRUP 2022 apakah minimal 40% nya diperuntukkan ke UMK dan apakah telah selesai diumumkan pada bulan November 2021. 
  2. PBJ cara Swakelola yang ternyata pilihan favorit K/L/PD sehingga berebut lahan dengan Penyedia UMK yang ditaksir hampir 50% Pagu biaya PBJ adalah untuk Swakelola (belum ada data realisasi yg jelas dari pihak LKPP).
  3. Banyaknya UMK diberdayakan menjadi subkon perusahaan Menengah-Besar  namun justru terjebak pada pembayaran yang lebih banyak biaya nagihnya ketimbang untungnya.
  4. Rendahnya minat UMK mendaftar di LPSE.

Ini akan kita bahas pada artikel selanjutnya selagi menunggu LKPP menyiapkan data yang valid, transparan dan teruji.  


Mari kita sukseskan program pemerintah, selamatkan UMK, sebarkan berita baik ini sebagai gerakan moral agar K/L/PD/BUMN/BUMD tidak lalai mengikuti Perintah

Salam Kebijakan PBJ

"the best way to pull an economy out of a recession is for the government to increase demand by infusing the economy with capital. In short, consumption (spending) is the key to economic recovery. (John Maynard Keynes )"


07 Maret 2022

UMKM pada PBJ (Penandatanganan Surat Edaran bersama Mendagri dan Kepala LKPP)

02 Maret 2022

KONFERENSI PERS PENAHANAN TERSANGKA (PENYEDIA) DI KAB. BURU SELATAN_Part 2

26 Februari 2022

Pekerjaan Konstruksi tidak boleh dilakukan secara Swakelola


  

    Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 52 tentang perubahan Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU02/17') telah diterbitkan pertanggal 02 November 2020, terdapat perubahan pasal namun kewajiban memiliki Sertifikat masih tetap dipertahankan yaitu :

  1. Setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi (JasKon) wajib memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) (Pasal 30).
  2. Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang Jasa Konstruksi wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) (Pasal 70). 
berdasarkan UU02/17', 
  • yang dimaksud dengan JasKon adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi, 
  • yang dimaksud SBU adalah tanda bukti pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kemampuan badan usaha Jasa Konstruksi termasuk hasil penyetaraan kemampuan badan usaha Jasa Konstruksi asing dan 
  • yang dimaksud dengan SKK adalah proses pemberian sertifikat kompetensi melalui uji kompetensi sesuai dengan standar kompetensi kerja nasional Indonesia, standar internasional, dan/atau standar khusus. 

Perizinan Sektor PUPR selurunya masuk kategori kegiatan berbasis Risiko. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat  nomor 06 tahun 2021 tentang  Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PM06/21), seluruh Sub Sektor Jaskon tergolong Risiko Menengah Tinggi dan pelaksanaannya dilakukan oleh pelaku usaha yang  memiliki izin NIB dan Serifikat Standar (SBU/SKK).     

Untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan usaha mikro, & kecil (UMK) dan kesejahteraan pekerja. Terdapat 167.605 perusahaan Konstruksi kelas Kecil (BPS, 2021) dan 1.121.092 orang Pekerja Tetap Perusahaan Konstruksi (BPS, 2018) di Negara kita dan mayoritas bekerja di Jaskon yang diadakan Pemerintah, sebagai data tambahan pada tahun 2021 saja Pemerintah telah menghabiskan 334 T yang tersebar pada 303.606 paket (LKPP, 2022), ini diluar Pekerjaan Konstruksi yang diadakan oleh BUMN dan Pengadaan Barang/Jasa yang dikecualikan, sangat disayangkan baru 51,1 % dari Anggarannya diperuntukkan bagi UMK yang jumlahnya 80% lebih dari total perusahaan konstruksi di Indonesia.

    Dari data diatas tampaknya ini adalah alasan yang sangat tepat mengapa aspek Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ-P) menjadi salah satu yang menyesuaikan terhadap UU Cipta Kerja sehingga Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada tanggal 2 Februari 2021 (PS12/21). Sebagaimana kita ketahui, Presiden disini mengatur Pengadaan Barang/Jasa yang meliputi a. Barang; b. Pekerjaan Konstruksi; c. Jasa Konsultansi; dan d. Jasa Lainnya. Pengadaannya sendiri dilaksanakan dengan cara a. Swakelola; dan/atau b. Penyedia. 

    Pada pembahasan kali ini mari kita bahas tentang Swakelola saja khususnya yang diatur pada Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola (PLKPP03/21) yang dikeluarkan pada tanggal 06 Mei 2021.

Apa itu Swakelola ?

Pengadaan Barang/Jasa melalui Swakelola yang selanjutnya disebut Swakelola adalah cara memperoleh barang/jasa yang dikerjakan sendiri oleh Kementerian / Lembaga / Perangkat Daerah (K/L/PD), K/L/PD lain, organisasi kemasyarakatan, atau kelompok masyarakat. 

Apakah Pekerjaan Konstruksi termasuk PBJ Swakelola? yes, sudah pasti menurut PS 12/21 bahkan dipertegas lagi pada PLKPP03/21 yang menyebutkan:

  1. Pembangunan fisik dapat berupa Pekerjaan Konstruksi sederhana yang hanya dapat berbentuk rehabilitasi, renovasi,dan konstruksi sederhana. Konstruksi bangunan baru yang tidak sederhana, dibangun oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran untuk selanjutnya diserahkan kepada Kelompok Masyarakat penerima sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    Contoh: 
      1. Pembangunan/pemeliharaan jalan desa/kampung, 
      2. pembangunan/pemeliharaan saluran irigasi mikro/kecil, 
      3. pengelolaan sampah di permukiman, 
      4. pembangunan sumur resapan, 
      5. pembuatan gapura atau 
      6. pembangunan/peremajaan kebun rakyat. 
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah 
"apakah K/L/PD, K/L/PD lain, organisasi kemasyarakatan, atau kelompok masyarakat bisa memiliki SBU/SKK".

Sebelum menjawab pertanyaan terakhir ini silahkan dibaca dulu artikel saya berikut (tinggal klik):
Gimana....apakah saudara/i bisa menyimpulkan bahwa tidak mungkin K/L/PD, K/L/PD lain, organisasi kemasyarakatan, atau kelompok masyarakat memiliki SBU/SKK. Kalau menurut saya sih bagaimana mungkin dapat SBU/SKK, memenuhi persyaratan saja tidak ada jalannya......Kalo kita sepakat, lantas apa solusinya om...!!!!!!!!!
Saya sih menyarankan 2 opsi yaitu :
  1. Beberapa Pekerjaan Konstruksi termasuk yang dicontohkan diatas (angka 1 s/d 6) dikategorikan ke Pekerjaan Risiko Menengah Rendah dengan begitu pelaksanaannya cukup memiliki NIB & Sertifikat Standar berupa pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha sesuai pasal 9 ayat 4 Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PP05/21). Dengan begitu baik UMK maupun Pengelola Swakelola gampang mengurus/membuat pernyataan terstandar (bisa bentuk sertifikat, pernyataan tertulis dsbg) atau
  2. PS 12/21 harus tunduk ke UU11/21, Pekerjaan konstruksi hanya bisa dikerjakan oleh Penyedia UMK ber NIB & SBU. Selain Hierarki-nya lebih tinggi, tak eloklah Pemerintah berebut lahan pekerjaan dengan UMK, justru sebaliknya mereka harus dilindungi dan dimudahkan sesuai isi BAB V pada PP05/21.
Apapun solusi yang dipilih, menurut saya hanya kedua jawaban tersebut yang memikirkan nasib 167.605 perusahaan Konstruksi kelas UMK dan 1.121.092 orang pekerja konstruksi yang pengurusan SKK-nya mayoritas dibebankan ke perusahaan.


Masih berani mengerjakan Pekerjaan Konstruksi secara Swakelola, ada sanksinya loh....baca sendiri di UU02/17'. 


Salam Kebijakan PBJ