Layanan Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Dokumen Tender & Peraturan Direksi terkait Pengadaan). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

CARI DI BLOG INI

30 Desember 2021

SBU & SKK dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Tender Konstruksi)


   Sering kita mendengar istilah Sertifikat Badan Usaha (SBU) dan Sertifikat Keterampilan Kerja (SKK) dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ-P) namun masih saja banyak yang bertanya apa dan bagaimana hubungannya dengan Proses Tender maupun Pekerjaan Konstruksi.... nah, pada artikel kali ini coba saya terangkan secara lebih luas dari sisi kebijakan yang mengaturnya hingga akhirnya dapat terhubung ke PBJ-P.

    

    Menurut Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang telah diubah Pasal 52 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 02/17) disebutkan bahwa Jenis usaha Jasa Konstruksi meliputi: a. jasa Konsultansi Konstruksi; b. Pekerjaan Konstruksi; dan c. Pekerjaan Konstruksi terintegrasi. Undang-undang tersebut juga mengatur bahwa setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi wajib memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) yang merupakan tanda bukti pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas kemampuan badan usaha Jasa Konstruksi termasuk hasil penyetaraan kemampuan badan usaha Jasa Konstruksi asing. Tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang Jasa Konstruksi juga diwajibkan memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) yaitu yang merupakan tanda bukti pengakuan kompetensi tenaga kerja konstruksi.

  Atas pertimbangan pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja yang tersebar di berbagai Undang-Undang sektor saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja sehingga maka pemerintah melakukan pengaturan ulang salah satunya sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang salah satu sektornya adalah Jasa konstruksi  dengan diterbitkannya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/20). Melalui turunan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko (PP 05/21) ditetapkan bahwa Sektor PUPR adalah tergolong Usaha Berbasis Resiko dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha pada subsektor jasa konstruksi terdiri atas:

  1. Sertifikat Badan Usaha (SBU) konstruksi;
  2. Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) konstruksi;
  3. Registrasi kantor perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA);
  4. Lisensi lembaga sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK); dan
  5. Lisensi lembaga sertifikasi profesi jasa konstruksi. 
Sertifikat Standar (SBU) merupakan legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha dalam bentuk pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha yang diberikan melalui Sistem OSS.

    Melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat  nomor 06 tahun 2021 tentang  Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PM 06/21) diterangkan bahwa Subsektor Jasa Konstruksi merupakan jenis pekerjaan berbasis Resiko berskala Menengah tinggi. Selanjutnya Peraturan Menteri ini juga sekaligus menetapkan Klasifikasi dan Subklasifikasi SBU yang telah dikonversi dengan Klasifikasi Baku Lapangan usaha Indonesia (KBLI). 

    "Ketentuan PM 06/21 tidak berlaku untuk SBU dan SKK dibidang Kelistrikan. Dalam hal ini harus mengacu kepada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 05 tahun 2021 tentang Penetapan Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral"

    Terkhusus aturan Klasifikasi/Subklasifikasi dan Kualifikasi SBU, sebenarnya sudah ada kebijakan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat  nomor 19 tahun 2014 tentang  Perubahan Permen PUPR nomor 08 tahun 2011 tentang Pembagian Subklasifikasi dan Subkualifikasi Usaha Jasa Konstruksi (PM 19/14). Baik PM 06/21 maupun PM 19/14, keduanya mengatur hal yang sama namun merupakan pelaksanaan dari PP yang berbeda meskipun sama-sama bermuara pada UU Jasa Konstruksi yang terakhir kali diubah/dicabut oleh UU 11/20. Karena sudah terkait ke KBLI, sekilas PM 06/21 lebih kekinian ketimbang PM 19/14 bahkan terdapat beberapa perbedaan jenis sub-klasifikasinya. Meskipun begitu, demi kepastian hukum sangat disarankan agar  PM 19/14 dicabut ataupun diubah.

    Menurut Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (PP 14/21) bahwa Tenaga Kerja Konstruksi terdiri atas Kualifikasi jabatan: 

  1. Operator; 
  2. Teknisi atau analis; dan 
  3. Ahli. 

Klasifikasi dari ketiga kualifikasi Tenaga Kerja Konstruksi tersebut diatas meliputi:

  1. Arsitektur;
  2. Sipil;
  3. Mekanikal;
  4. Tata lingkungan;
  5. Arsitektur lanskap, iluminasi, dan desain interior;
  6. Perencanaan wilayah dan kota;
  7. Sains dan rekayasa teknik; atau
  8. Manajemen pelaksanaan. 
    Terhadap SKK, penulis belum menemukan adanya kebijakan selevel peraturan menteri PUPR yang mengatur tentang Sub-Klasifikasi dari delapan (8) klasifikasi Tenaga kerja diatas. Ini sangat penting mengingat dalam perencanaan PBJ diperlukan acuan yang jelas terhadap Subklasifikasi Tenaga Kerja Konstruksi yang dibutuhkan serta dijadikan syarat pemilihan penyedia. Sebagai tambahan literatur, LPJK terdahulu pernah mengeluarkan Peraturan LPJK nomor 5 tahun 2017 tentang Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Ahli serta Peraturan LPJK nomor 7 tahun 2017 tentang Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Terampil. Terlepas dari polemik apakah peraturan ini tergolong peraturan perundang-undangan atau tidak, deskripsinya tentang pekerjaan per subklasifikasi sangatlah tepat memberikan gambaran kebutuhan spesifikasi tenaga kerja bagaimana yang cocok dipersyaratkan. 
    Pelaksanaan proses sertifikasi Badan Usaha Jasa konstruksi sendiri dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU) yang telah memiliki LISENSI Sertifikat Standar Perizinan Berusaha subsektor Jasa Konstruksi dengan nomor KBLI 71201 : JASA SERTIFIKASI. Pelaksanaan proses sertifikasi kompetensi kerja konstruksi sendiri dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang telah memiliki LISENSI Sertifikat Standar Perizinan Berusaha subsektor Jasa Konstruksi  dengan nomor KBLI 74311 & 74321 : AKTIVITAS SERTIFIKASI PROFESI (PIHAK 1 & PIHAK 3). Proses Sertifikasi baik SBU maupun SKK tersebut akan kita kupas pada artikel berikutnya.
    Khusus tentang tenaga kerja konstruksi, terdapat beberapa kebijakan lain yang mengaturnya seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2018 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Peraturan Presiden nomor 08 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi  Nasional Indonesia (PS 08/12), dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 09 tahun 2013 tentang Persyaratan Kompetensi Untuk Subkualifikasi Tenaga Ahli dan Tenaga Terampil Bidang Jasa Konstruksi (PMPU 09/13). Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi harus dikeluarkan oleh Institusi/lembaga yang telah memiliki Lisensi dari BNSP dan Kualifikasi Tenaga Kerja yang disertifikasi tersebut mengacu ke PS 08/12 jo PMPU 09/13.
    Dari penjabaran diatas sudah cukup jelas bahwa SBU/SKK merupakan perizinan yang diwajibkan dimiliki pada Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi yang diadakan sepanjang  wilayah NKRI, lantas bagaimana dengan Jasa Konstruksi yang pengguna jasanya adalah Pemerintah atau Lembaga lain yang sumber keuangannya berasal dari kekayaan Negara? Pengadaan Jasa Konstruksi yang bersumber dari APBN/D dan bantuan/hibah kebijakannya diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 16/18).  Melalui Peraturan pelaksanaanya yaitu Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PLKPP 12/21) khususnya lampiran 2 dan Lampiran 3 ternyata sangat banyak menyebutkan hal-hal terkait SBU seperti Klasifikasi, Sub-klasifikasi dan pengalaman sesuai klasifikasi/Subklasifikasi dan Kualifikasi SBU yang diminta agar bisa memenuhi syarat sebagai Penyedia Pekerjaan Konstruksi. Demikian pula SKK, sering menjadi persyaratan wajib dimiliki khususnya untuk Penyedia Jasa Perorangan ataupun syarat Personil manajerial bagi Penyedia Badan Usaha. 

Khusus tentang Tata Cara Evaluasi Kualifikasi terhadap SBU/SKK, PLKPP 12/21 membuat ketentuan sebagai berikut:

Persyaratan Izin berusaha dibidang Jasa Konstruksi, Sertifikat Badan Usaha (SBU), Sertifikat lainnya (apabila disyaratkan) dengan ketentuan:

a. Pokja memeriksa masa berlaku izin/sertifikat dengan ketentuan: 

  1. Izin/sertifikat yang habis masa berlakunya sebelum batas akhir pemasukan Dokumen Penawaran tidak dapat diterima dan penyedia dinyatakan gugur;
  2. Dalam hal masa berlaku izin/sertifikat habis setelah batas akhir pemasukan Dokumen Penawaran, maka Peserta harus menyampaikan izin/sertifikat yang sudah diperpanjang kepada Pejabat Penandatangan Kontrak saat penyerahan lokasi kerja dan personel;
  3. Dalam hal izin berusaha di bidang Jasa Konstruksi diterbitkan oleh lembaga online single submission (OSS), izin berusaha di bidang Jasa Konstruksi harus sudah berlaku efektif pada saat rapat persiapan penandatanganan kontrak Khusus untuk SBU, tidak perlu mengevaluasi registrasi tahunan, melainkan cukup memperhatikan masa berlaku SBU.
b. Pokja Pemilihan dapat memeriksa kesesuaian izin/sertifikat dengan menghubungi penerbit dokumen, dan/atau mengecek melalui layanan daring (online) milik penerbit dokumen yang tersedia." 

Jadi sangat jelas Pokja dalam memeriksa kesesuaian SBU/SKK harus mengacu kepada penerbitnya dimana proses penerbitannya akan saya jabarkan di artikel berikutnya.

UPDATE: 10/08/2022
Telah terbit Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 08 tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemenuhan Sertifikat Standar Jasa Konstruksi Dalam Rangka Mendukung Kemudahan Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha Jasa Konstruksi. Penting : Peraturan baru ini tidak ada menjelaskan statusnya apakah mencabut aturan sebelumnya, dengan begitu semuanya dinyatakan masih berlaku.


Semoga mencerahkan.

Salam Kebijakan Publik PBJ-P  

25 Desember 2021

TERSANGKA (Walikota) TERKAIT PERKARA PROYEK PUPR BANJAR JAWA-BARAT

14 Desember 2021

KONFERENSI PERS PENAHANAN TERSANGKA MUARA ENIM TERKAIT PBJ

28 November 2021

Sah...Dokumen PBJ ini sudah tidak RAHASIA lagi


    Kabar gembira bagi Masyarakat Penggiat Informasi khususnya terkait PBJ, telah dikeluarkan Peraturan Komisi Informasi nomor 01 tahun 2021 tentang Standard Layanan Informasi Publik (PerKI 01/21) yang telah diundangkan dan berlaku sejak tanggal 30 Juni 2021. Dengan berlakunya perKI 01/21 maka serta merta mencabut Peraturan Komisi Informasi nomor 01 tahun 2010 tentang Standard Layanan Informasi Publik dan Peraturan Komisi Informasi nomor 01 tahun 2017 tentang Pengklasifikasian Informasi Publik.

Pada aturan tersebut, terkhusus terkait PBJ diatur pada pasal 15 ayat (9) yang berbunyi:

Informasi pengadaan barang dan jasa Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf i paling sedikit terdiri atas:

  1. tahap perencanaan, meliputi dokumen Rencana Umum Pengadaan (RUP).

  2. tahap pemilihan, meliputi:

    1. Kerangka Acuan Kerja (KAK);

    2. Harga Perkiraan Sendiri (HPS) serta Riwayat HPS;

    3. Spesifikasi Teknis;

    4. Rancangan Kontrak;

    5. Dokumen Persyaratan Penyedia atau Lembar Data Kualifikasi;

    6. Dokumen Persyaratan Proses Pemilihan atau Lembar Data Pemilihan;

    7. Daftar Kuantitas dan Harga;

    8. Jadwal pelaksanaan dan data lokasi pekerjaan;

    9. Gambar Rancangan Pekerjaan;

    10. Dokumen Studi Kelayakan dan Dokumen Lingkungan Hidup, termasuk

      Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;

    11. Dokumen Penawaran Administratif;

    12. Surat Penawaran Penyedia;

    13. Sertifikat atau Lisensi yang masih berlaku dari Direktorat Jenderal

      Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;

    14. Berita Acara Pemberian Penjelasan;

    15. Berita Acara Pengumuman Negosiasi;

    16. Berita Acara Sanggah dan Sanggah Banding;

    17. Berita Acara Penetapan atau Pengumuman

    18. Laporan Hasil Pemilihan Penyedia;

    19. Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ);

    20. Surat Perjanjian Kemitraan;

    21. Surat Perjanjian Swakelola

    22. Surat Penugasan atau Surat Pembentukan Tim Swakelola; 

    23. Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding.

c. tahap pelaksanaan, meliputi:

  1. Dokumen Kontrak yang telah ditandatangani beserta Perubahan Kontrak yang tidak mengandung informasi yang dikecualikan;

  2. Ringkasan Kontrak yang sekurang-kurangnya mencantumkan informasi mengenai para pihak yang bertandatangan, nama direktur dan pemilik usaha, alamat penyedia, nomor pokok wajib pajak, nilai kontrak, rincian pekerjaan, spesifikasi pekerjaan, lokasi pekerjaan, waktu pekerjaan, sumber dana, jenis kontrak, serta ringkasan perubahan kontrak.

  1. Surat Perintah Mulai Kerja;

  2. Surat Jaminan Pelaksanaan;

  3. Surat Jaminan Uang Muka;

  4. Surat Jaminan Pemeliharaan;

  5. Surat Tagihan;

  6. Surat Pesanan E-purchasing;

  7. Surat Perintah Membayar;

  8. Surat Perintah Pencairan Dana;

  9. Laporan Pelaksanaan Pekerjaan;

  10. Laporan Penyelesaian Pekerjaan;

  11. Berita Acara Pemeriksaan Hasil Pekerjaan;

  12. Berita Acara Serah Terima Sementara atau Provisional Hand Over;

  13. Berita Acara Serah Terima atau Final Hand Over.


Dalam peraturan baru ini ditegaskan bahwa Informasi tentang pengadaan barang dan jasa adalah tergolong Informasi Publik yang wajib dibuka, disediakan dan diumumkan secara berkala oleh setiap Badan Publik.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/08) bahwa yang dimaksud dengan Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran.Masih berdasrakan UU 14/08, bahwa yang dimaksud dengan “berkala” adalah secara rutin, teratur, dan dalam jangka waktu tertentu. Kewajiban tersebut diberikan dan disampaikan paling singkat 6 (enam) bulan sekali.

Apa yang terjadi jika Badan Publik tidak melakukannya ? masih menurut UU 14/08 maka setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi dan apabila Badan Publik tersebut yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik tersebut, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Kembali ke PerKI 01/21 khususnya terkait PBJ, menurut para pembaca point manakah yang merupakan terobosan besar dalam kebebasan Informasi yang mencerminkan tingkat Demokrasi di Indonesia? jawabannya akan kita kaji satu persatu pada artikel berikutnya...mohon sabar menunggu. 

25 November 2021

TERSANGKA PBJ di PTPN XI