Update:
Permohonan ini telah kami cabut secara resmi per tanggal 19 desember 2022 pukul 11:00 dengan beberapa alasan diantaranya "Menyampaikan Saran/kritik kepada Pemerintah dan DPR bahwa ada pemikiran dari rakyat terhadap suatu permasalahan Kebijakan Dasar yang disusun oleh Bapak Pendiri Bangsa kita dalam bentuk UUD 1945, dan pesan dan makna Filosofis keberatan Rakyat dianggap sudah tersampaikan". Pencabutan tersebut telah ditetapkan Mahkamah pada tanggal 31 januari 2023 (https://inforadar.disway.id/amp/649576/permohonan-pencabutan-uji-uu-p3-dikabulkan-mk).
Akhirnya permohonan Uji Materiil kami terhadap Pasal 1 angka 6; Pasal 7 ayat 1; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 dari Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah diterima dan akan menghadapi persidangan minggu depan sebagaimana panggilan sidang berikut:
Sejak memulai penyusunan permohonan sampai mendapatkan Akta Pengajuan Permohonan hingga akhirnya mendapatkan panggilan sidang memang sudah terasa kelas Pelayanan Publik Mahkamah Konstitusi melebihi standar, tak salah kalo Lembaga ini sangat memperhatikan Hak/Kewenangan Konstitusi Masyarakat pencari keadilan. Sistem Pelayanan Berbasis Elektronik, pelayanan cepat, tersedia Kantor Pos yang melakukan leges gratis, parkiran gratis, dan terpenting security/pegawai bermental melayani. Semoga Hak hak Konstitusional Masyarakat tetap Prioritas utama di Lembaga ini.
Kata orang, Hakim memutuskan perkara berdasarkan keyakinan, dan semoga keyakinan kami sama yaitu :
- UUD 45 hanya menyebutkan Ketetapan MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah sebagai sumber hukum konstitusional kita.
- Jikapun ada peraturan lain seperti Peraturan Presiden, Peraturan Kementerian/Lembaga, Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota maka peraturan itu harus memiliki hubungan langsung dan jelas diperintahkan oleh salah satu sumber hukum konstitusional diatas.
- Kekuasaan Pembentukan Perundang-Undangan merupakan hak/kewajiban konstitusional bersama antara Presiden dan DPR, dengan begitu segala peraturan selain bersumber dari hukum konstitusional kita maka dapat dikatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum yang mengikat.
- Dalam hal pembentukan Peraturan Presiden, maka apabila bukan dibentuk atas dasar hukum dan perintah yang jelas dari Undang-Undang dan atau Peraturan Pemerintah maka dapat dikatakan Peraturan Presiden tersebut dibentuk :
- oleh Presiden diluar hak/kewenangan konstitusi yang dimilikinya.
- tanpa Persetujuan DPR.
- tidak bersumber dari UUD 45
tentunya keyakinan itu bukanlah muncul tanpa Alasan, Bukti dan Dasar Hukum dan semoga teman-teman pembaca memiliki keyakinan yang sama juga setelah membaca permohonan kami, untuk itu kami sampaikan isi permohonan kami selengkapnya:
Kepada yang terhormat,
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6
Jakarta Pusat 10110
PERMOHONAN UJI MATERIIL
Undang-Undang nomor 12 tahun 2011
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Dengan hormat,
Kami yang bertanda tangan dibawah ini, bermaksud mengajukan permohonan pengujian Materiil yang berkenaan dengan Materi muatan dalam Pasal 1 angka 6; Pasal 7 ayat
1; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 dari Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/11) (bukti P-1) yang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 45) (bukti P-2).
Adapun kami para pemohon sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 pasal 4 pada
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 02/21) yang menganggap Hak
Konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya UU 12/11 adalah sebagai berikut:
a.
Nama : Bonatua Silalahi
N.I.K : xxxxxxxxxxxxxx
Pekerjaan : Mahasiswa Program Doktor (S-3) Kebijakan Publik.
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat Rumah : xxxxxxxxxxxxxxx
Alamat Email : Bonatua.766hi@gmail.com
Sebagai orang perorangan warga negara Indonesia----------------------Pemohon I;
b.
Nama : xxxxxxxxxxxxxxxxx
N.P.W.P : xxxxxxxxxxxxxxx
Bidang Usaha : Konsultan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
AlamatKantor : xxxxxxxxxxxxxxxx
Alamat Email : xxxxxxxxxxxx@gmail.com
Sebagai orang badan hukum Privat--------------------------------------- Pemohon II
Adapun Hak Konstitusional Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya UU 12/11
sebagaimana yang dimaksud pada ayat 2 pasal 4 pada PMK 02/21 adalah kami jabarkan sebagai
berikut:
A. Ada hak konstitusional pemohon yang diberikan UUD 45.
1) Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
B. Hak dirugikan oleh berlakunya UU 12/11 yang dimohonkan pengujian.
2) Bahwa para pemohon merasa dirugikan atas berlakunya UU12/11 khusunya Pasal 1
angka 6; Pasal 7 ayat 1; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13. Kerugian tersebut adalah
tidak diperolehnya kepastian hukum yang adil atas berlakunya Peraturan Presiden yang
bukan merupakan salah satu dari jenis Peraturan yang disebut didalam UUD 45.
C. Kerugian konstitusional bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
C.1. Bersifat spesifik (khusus) dan Aktual
a. Pemohon I.
3) Bahwa Pemohon I adalah penyandang gelar Master Ekonomi Konsentrasi Kebijakan
Publik berijazah (bukti P-12) dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti.
4) Bahwa pemohon I dalam meraih gelar tersebut telah melakukan Penelitian dalam
bentuk Tesis (bukti P-9) yang berfokus pada Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah (selanjutnya disebut PBJ).
5) Bahwa saat ini Pemohon I sedang menjalani Studi Pendidikan Doktor (S-3) Kebijakan
Publik di Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis Program Studi Universitas Trisakti dengan
Nomor Induk Mahasiswa (NIM) 221022106004 (bukti P-8) dan telah melakukan sidang
kolokium yang tetap konsisten melakukan penelitian dalam bentuk Disertasi yang
berfokus tetap pada Kebijakan PBJ.
6) Menurut buku HANDBOOK of PUBLIC POLICY yang diedit oleh B.GUYPETERS and JON
PIERRE, menyebutkan bahwa Konstitusi adalah hukum dasar yang menetapkan 'aturan
main' untuk proses politik. UUD 45 adalah hukum dasar untuk menetapkan aturan main
bagaimana Proses Politik antara Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) dan Pemerintah khususnya dalam kerjasama
membuat Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut PPU).
7) Bahwa pada saat menjalani penelitian (Tesis dan Disertasi) terkait Kebijakan PBJ,
pemohon I menemukan fakta bahwa jenis hierarki PPU paling tinggi dibidang PBJ adalah
Jenis Peraturan Presiden (selanjutnya disebut PS) yaitu PS Nomor 16 Tahun 2018
tentang PBJ (selanjutnya disebut PS 16/18) (bukti P-4).
8) Bahwa menurut kajian Pemohon I, pertimbangan pembentukan PS 16/18 bukanlah
untuk menjalankan perintah PPU yang lebih tinggi sebagaimana yang diatur pada Pasal
1 angka 6 dan Pasal 13 UU 12/11 dengan alasan sebagai berikut:
a) Pada bagian Menimbang PS 16/18 sama sekali tidak menyatakan bahwa aturan
tersebut dibentuk atas pelaksanaan PPU yang lebih tinggi.
b) Pada bagian Mengingat, PS16/18 menyebutkan Undang-Undang Nomor 01 Tahun
2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut UU 01/04) (bukti P-5)
dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
(selanjutnya disebut UU 30/14) (bukti P-6) sebagai Dasar hukumnya, pada kedua
UU tersebut ditemukan fakta bahwa:
UU 01/04 hanya mengandung 1 frasa/kalimat yang materi muatannya terkait
PBJ yaitu pada pasal 16 ayat 4 berbunyi "Penerimaan berupa komisi, potongan,
ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang
dan/atau jasa oleh negara/daerah adalah hak negara/daerah". Begitu pula
pada Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut PP) sebagai aturan
pelaksana/turunan, pemohon sama sekali tidak menemukan aturan yang
memuat materi PBJ maupun adanya perintah pembentukan PS untuk
mengatur PBJ.
UU 30/14 sama sekali tidak menyebutkan adanya frasa/kalimat yang mengatur
materi terkait PBJ.
9) Bahwa pertimbangan pembentukan PS 16/18 patut diduga dibentuk dalam rangka
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan sebagaimana yang diatur pada Pasal 1 angka 6 dan Pasal 13 UU 12/11 namun tidak dapat dipastikan kekuasaan yang mana dari sekian banyak (11 jenis) kekuasaan pemerintah yang diatur pada BAB III UUD 45.
10) Bahwa Pemohon I juga menyimpulkan berdasarkan kajian yaitu:
-
a) Lingkup pengaturan PBJ yang diatur pada PS 16/18 sangatlah luas sebagaimana
yang dimaksud Pasal 1 angka 1 PS/16 berbunyi: Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan
Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang
dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (selanjutnya disebut
APBN)/Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (selanjutnya disebut APBD) yang
prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil
pekerjaan.
-
b) Pengaturan PBJ yang dibiayai APBN oleh PS mengakibatkan adanya Intervensi
Kebijakan yang dilakukan oleh Presiden terhadap pemegang Kekuasaan Negara
lainya (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif & Eksaminatif) yaitu Majelis Permusyaratan
Rakyat (selanjutnya disebut MPR), DPR, Mahkamah
Agung (selanjutnya disebut M.A), Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut M.K)
dan Badan Pemeriksa Keuangan (selanjutnya disebut BPK). Secara Aktual, seluruh
lembaga tersebut telah menyelenggarakan PBJ berpedoman pada PS 16/18.
-
c) Pengaturan PBJ yang dibiayai APBD oleh PS mengakibatkan adanya Intervensi
Kebijakan yang dilakukan oleh Presiden terhadap Pemerintahan Daerah
(selanjutnya disebut PEMDA) yang memiliki hak/kewenangan konstitusi
menetapkan Peraturan Daerah (selanjutnya disebut PERDA) dan peraturan-
peraturan lain dalam melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Secara
Aktual, seluruh PEMDA saat ini telah melaksanakan PS 16/18 meskipun
penyelenggaraannya dalam rangka pelaksanaan otonomi dan tugas perbantuan.
-
d) Ketidakjelasan penerapan pengaturan materi muatan yang dapat diatur PS juga
telah menimbulkan multi tafsir terhadap Undang-Undang (selanjutnya disebut UU)
yang materi muatannya telah disetujui DPR seperti:
- Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang PEMDA dimana seharusnya
Daerah memiliki Hak Konstitusi mengatur keuangan daerahnya sendiri
termasuk tata cara belanja Modal maupun belanja barang/jasa sebagai urusan
yang bersifat otonom sebagaimana diatur pada pasal 18 ayat 6 UUD 45.
- Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya
disebut UU 02/17) yang mana seharusnya Ketentuan Pengadaan Jasa
Konstruksi diatur dalam bentuk PP yang merupakan aturan pelaksanaanya.
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mana
Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN) dan Badan Usaha Milik
Daerah (selanjutnya disebut BUMD) selaku usaha yang modalnya bersumber
dari kekayaan Negara seharusnya aturan PBJ-nya mengikuti PS 16/18, pada
Aktualnya mereka mengacu pada aturan sendiri.
11)Bahwa sebagai Peneliti, Pemohon I mengalami kebingungan menguraikan benang
merah keterkaitan PS 16/18 (khususnya yang dibentuk dalam rangka untuk
melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan) terhadap UUD 45.
12)Bahwa Pemohon II adalah Badan Usaha berbadan Hukum yang kegiatannya memberikan Jasa Nasehat (konsultan) terkait penyelenggaraan PBJ pada Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah, BUMN dan BUMD.
13) Bahwa dalam pemberian nasehat kepada klien-nya, Pemohon II sering dihadapkan dengan multi tafsir kebijakan atas keberadaan PS 16/18 antara lain:
-
PBJ didaerah memiliki standar ganda dimana sebagian mengacu ke PS 16/18
dan sebagian lagi mengacu ke PERDA-nya, bahkan ada beberapa daerah yang
membuat PERDA khusus terkait PBJ meskipun isinya hanya suatu pernyataan bahwa kebijakan PBJ didaerah tersebut berpedoman kepada PS 16/18.
-
PBJ konstruksi mengalami 2(dua) polarisasi pedoman pelaksanaan PBJ, dimana
ada yang mengacu ke Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah nomor 09 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Melalui Penyedia sebagai turunan PS 16/18 namun ada juga yang
mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
nomor 14 tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia sebagai pelaksanaan UU 02/17.
-
Kebijakan PBJ di BUMN/BUMD, anak BUMN/BUMD maupun teravialiasi
BUMN/BUMD juga menjadi sangat bervariasi, dimulai dari perusahaan
membuat kebijakan sendiri, mengikuti kebijakan menteri BUMN, mengikuti PS 16/18 beserta turunannya sampai hanya mengikuti PS 16/18 namun tidak mengikuti Peraturan turunannya.
14) Bahwa multitafsir yang disebut pada angka 13) diatas sering dipakai sepihak oleh Badan Publik, Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Pengadaan dan
Kelompok kerja pemilihan dengan mengambil tafsiran yang menguntungkan pihaknya
dan merugikan pihak lain termasuk para klien pemohon II. Kondisi ini sangat berpotensi
terjadi transaksi kepentingan agar dapat memperkaya diri sendiri dan orang lain.
15) Sebagai kelanjutannya, pihak II pada akhirnya dirugikan secara bisnis seperti tidak
mendapatkan pembayaran yang sesuai karena hasil pekerjaannya tidak maksimal
akibat kualitas nasehat yang diberikan penuh ketidakpastian.
16) Pemohon II secara spesifik mengalami kerugian tidak terdapatnya kepastian hukum
akibat multitafsir pada Jasa Nasehat PBJ dan terjadi secara aktual sampai saat ini.
C.2. Kerugian bersifat Potensial
17)Bahwa ketidakjelasan pembentukan PS akan bisa berpotensi terjadinya intervensi bahkan barter kekuasan antara Kekuasaan Pemerintah terhadap kekuasaan lainnya,
dalam hal ini pemohon mencontohkan potensi kerugian yang dimaksud terhadap
pembentukan PS 16/18 sebagai berikut:
a) Melalui PS 16/18 maka Pemerintah Pusat akan bermain di eksekusi Anggaran
Belanja Barang/Jasa di Lembaga MPR, DPR, BPK, M.A & M.K dengan cara membuat
aturan sedemikian rupa sehingga pelaksanaan PBJ menjadi tidak value for money
(ekonomis, efektif, efisien). Barter kekuasan akan terjadi dalam bentuk kompensasi
anggaran dengan cara melonggarkan/mengetatkan kebijakan tata cara PBJ
sehingga masing-masing kepentingan tercapai. Dalam hal ini bisa saja DPR tidak
mempermasalahkan isi Materi PS walaupun sebenarnya tidak layak disetujui
karena UU pembentuknya belum ada atau bahkan bertentangan dengan UU yang
telah disetujui bersama, sepanjang barter kepentingan berlangsung maka
ketertiban dan kepastian materi menjadi bukan hal yang penting. Kekuasaan
Pemerintah dalam membentuk PS bisa disetting sehingga tata cara PBJ nya
menjadi rentang pelanggaran, minim pengawasan bahkan hanya pencatatan saja,
setidaknya menurut kami settingan ini sudah terjadi seperti Pelaksanaan Swakelola
yang dibolehkan cukup transparansi dengan hanya pencatatan saja atapun menutup informasi dokumen penawaran pemenang tender sebagai Informasi yang dikecualikan.
b) PEMDA juga tidak bisa menjalankan Hak Konstitusi dalam menjalankan kekuasaan Otonomi Daerah-nya mengingat PS 16/18 turut melakukan intervensi mengatur
PBJ yang bersumber dari APBD. Kekuasaan mengelola anggaran sendiri adalah
salah satu hak otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi fiskal, kami
berpandangan Presiden tidak berwenang mengatur urusan-urusan yang telah
diserahkan ke daerah.
c) Materi PS 16/18 sering menjadi bahan bongkar pasang, terbukti sejak
dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sampai yang berlaku saat ini yaitu
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden
Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, tercatat sudah
16 kali perubahan dan jika dirata-ratakan 0,88 kali perubahan setiap tahunnya.
Sangat gampangnya merubah Materi muatan mengindikasikan dasar hukum
pembentukannya tidak kuat karena memang bukan dibentuk atas dasar materi
pada UU yang disepakati DPR dan terkesan tidak ada kontrol. Akibat lebih lanjut
anggaran yang dikeluarkan dalam Pembentukan PS 16/18 tidak efektif dan efisien
seperti biaya serap pendapat, biaya penyusunan naskah akademik, akomodasi
rapat dan sebagainya, belum lagi anggaran untuk sosialisasi perubahan aturan,
pembentukan dan sosialisasi aturan turunan. Khusus untuk perubahan tertentu
ternyata diperlukan adanya pelatihan karena melibatkan pedoman tata cara
penggunaan aplikasi seperti Sistim Pengadaan Secara Elektronik (SPSE).
18) Bahwa pembentukan PS bisa menjadi celah bagi Presiden untuk mengatur materi
muatan tertentu tanpa perlu mendapat persetujuan DPR. Dengan diakuinya PS sebagai
salah satu PPU maka pembentukan dan materi muatannya akan mengacu ke UU 12/11
dan dengan dalil/alasan:
- untuk menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dan atau
- mengatur materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan dan atau
- untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP secara tidak tegas diperintahkan pembentukannya.
Maka Presiden dengan kekuasaanya yang dibatasi UUD 45 akan dapat membuat PS
yang materi muatannya tanpa melalui persetujuan DPR dan dasar pembentukannya
memakai metode cocokologi terhadap beberapa UU/PP yang dianggap bisa
memberikan justifikasi menyalurkan kepentingannya. 19) Bahwa setiap kebijakan yang muncul termasuk PS berimplikasi langsung terhadap
alokasi anggaran, hal ini berpotensi dan bahkan telah terjadi dimana banyak Lembaga
yang dibentuk berdasarkan PS telah membebani APBN. Kedudukan Lembaga tersebut
menjadi permasalahan serius terhadap bentuk pengawasan DPR mengingat Lembaga
dan materi muatan yang diselenggarakan bukanlah dari UU/PP yang disepakati
bersama. Menjadi pertanyaan besar berikutnya bagaimana hak/kewenangan
Budgeting lembaga yang tidak memiliki hak/kewenangan konstitusional bahkan tanpa
persetujuan DPR melalui UU yang disepakati. Sebagai contoh adalah pembentukan
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 106 Tahun 2007.
D. Ada hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional dan berlakunya UU 12/11 yang dimohonkan pengujian.
20) Bahwa berlakunya UU 12/11 adalah bentuk diskresi proses pembentukan PPU yang diatur oleh UUD 45 yang diberikan DPR kepada Presiden sehingga bisa membuat aturan
tanpa secara jelas diperintahkan UU/PP dan dapat dengan bebas memilih UU/PP mana
yang dijadikan konsideran maupun dasar hukum pembentukannya.
21) Diskresi selanjutnya adalah terkait materi muatan, dimana pada aturan PS dapat dibuat
tanpa persetujuan DPR dengan dalih materinya untuk melaksanakan penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan tanpa harus ada kejelasan dalam rangka pelaksanaan
kekuasaan pemerintah mana yang dimaksud.
22) Muncul PS yang bukan dibuat berdasarkan konstitusional, maka akibat selanjutnya
menimbulkan ketidakpastian akan jenis dan hierarkinya dan menimbulkan multi tafsir
tak kala berhadapan dengan PPU lain yang pada akhirnya menimbulkan ketidaktertiban
hukum.
23)Bahwa akhirnya berlakunya UU 12/11 tersebut telah menimbulkan kerugian
konstitusional para pemohon karena tidak mendapatkan hak/kewajiban berupa
kepastian hukum yang adil yang dijamin oleh UUD 45.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat 2 huruf b PMK 02/21 maka izinkan kami
menguraikan secara jelas mengenai hal-hal sebagai berikut:
24) Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Keempat UUD 1945 menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
M.K”.
25) Bahwa selanjutnya Pasal 24C ayat (1) Perubahan Keempat UUD 1945 menyatakan:
“M.K berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang (selanjutnya disebut UU) terhadap
Undang-Undang Dasar (selanjutnya disebut UUD), memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran
partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”.
26) Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, M.K mempunyai kewenangan untuk melakukan
pengujian UU terhadap UUD 1945 yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang M.K sebagaimana telah diubah terakhirkali oleh
Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU
24/03) (bukti P-3) yang menyatakan: “M.K berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji UU terhadap UUD 45”;
27) Bahwa Pasal 9 ayat 1 UU 12/11 berbunyi : "Dalam hal suatu Undang-Undang diduga
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pengujiannya dilakukan oleh M.K."
28) Bahwa melalui permohonan ini, para Pemohon mengajukan pengujian Pasal 1 angka 6;
Pasal 7; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 pada UU 12/11 yang ditujukan terhadap UUD
45;
29) Bahwa secara kelembagaan, M.K memiliki kewenangan melakukan Pengujian dan UU
12/11 juga mengatur bahwa pengujian UU dilakukan oleh M.K.
30) Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka M.K berwenang untuk memeriksa dan
mengadili permohonan a quo;
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
31)Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU 24/03 yang menyatakan: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU, yaitu:- perorangan WNI,
- kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU;
(c) badan hukum publik dan privat, atau
- lembaga negara”;
32)Bahwa Putusan M.K Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 11/PUU-V/2007, juga
menyebutkan tentang kapasitas Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian
UU terhadap UUD, yaitu :
-
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 45.
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon
telah dirugikan oleh suatu UU yang diuji.
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau
khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya UU yang
dimohonkan untuk diuji.
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
33) Bahwa kelima syarat sebagaimana dimaksud di atas dijelaskan lagi oleh M.K melalui Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 dalam pengujian formil Perubahan Kedua UU tentang
M.K (halaman 59), yang menyebutkan sebagai berikut: “Dari praktik Mahkamah (2003-2009), perorangan WNI, terutama pembayar pajak
(tax payer; vide Putusan Nomor 003/PUU-I/2003) berbagai asosiasi dan NGO/LSM
yang concern terhadap suatu UU demi kepentingan publik, badan hukum, Pemerintah
daerah, lembaga negara, dan lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal
standing untuk mengajukan permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, UU terhadap UUD 1945 (lihat juga Lee Bridges, dkk. Dalam “Judicial Review in Perspective, 1995).”
34)Bahwa Pemohon I merupakan orang perseorangan warga negara Indonesia yang bernama Bonatua Silalahi, xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx(bukti P-7).
35)Bahwa Pemohon II merupakan orang berbentuk Badan Hukum Private berbentuk
Perseroan terbatas (bukti P-10) yang dibentuk pada tahun 2017 dan secara sah
pendiriannya berdasarkan Akta Pendirian Perseroan Terbatas oleh Notaris Bliamto
Silitonga, S.H., Nomor 2 tahun 2017, dan kemudian mendapatkan Pengesahan dari
Kementerian Hukum dan HAM Nomor AHU-0016375.AH.01.01.TAHUN 2017 (bukti P-
11) pada tanggal 6 April 2017.
36) Bahwa Pemohon II merupakan Badan usaha yang menjalankan usaha dalam bidang jasa
pada umumnya yaitu Jasa Konsultan bidang manajemen dan administrasi PBJ. Sehingga
Pemohon II haruslah dipandang sebagai perwujudan upaya, baik secara sendiri-sendiri
maupun secara kolektif dalam membangun masyarakat, bangsa dan Negaranya dalam
penegakan nilai-nilai konstitusionalisme;
37) Bahwa para Pemohon memiliki kepentingan konstitusional atas diberlakukannya Pasal
1 angka 6; Pasal 7; Pasal 13 dan penjelasan Pasal 13 UU 12/11 karena pemberlakukan
ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat berpotensi
dirugikannya hak konstitusional Pemohon maupun warga negara Indonesia yang telah
dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
38) Bahwa oleh sebab itu para Pemohon merupakan pihak yang dimaksudkan Pasal 51 ayat
(1) huruf (a) UU 24/03, serta seperti yang dimaksudkan huruf c Putusan M.K Nomor
006/PUU-III/2005 dan Nomor 11/PUU-V/2007, serta Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009
telah terpenuhi;
III. ALASAN PEMOHON.
Adapun alasan Pemohon yang memuat penjelasan mengenai materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari UU 12/11 yang diduga bertentangan dengan UUD 45 sebagaimana
yang dimaksud pada angka 3 huruf b ayat (2) pasal 10 pada PMK 02/21 adalah sebagi berikut:
39) Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 45 menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
40) Bahwa dalam rangka menjadikan Negara Hukum, UUD 45 telah menetapkan 6 (enam)
jenis PPU yang diakui secara Konstitusional yaitu:
- UUD (pasal 1 ayat 2 UUD 45).
- PutusanMajelisPermusyawaratanRakyat(pasal2ayat3UUD45).
- UU (pasal 5 ayat 1 UUD 45)
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (selanjutnya disebut PPPUU) (Pasal 22 ayat 1 UUD 45)
- PP (pasal 5 ayat 2 UUD 45)
- PERDA dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (pasal 18 ayat 6).
41) Bahwa UU 12/11 telah memperkenalkan Jenis baru PPU yaitu "PS" yang terdapat pada:
-
a) Pasal 1 angka 6 berbunyi: "PS adalah PPU yang ditetapkan oleh Presiden untuk
menjalankan perintah PPU yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan
kekuasaan pemerintahan".
b) Pasal 7 ayat 1 berbunyi: "Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri
atas:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- PERDA Provinsi; dan
- PERDA Kabupaten/Kota.
- c) Pasal 13 berbunyi: Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan PP, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
- d) Penjelasan Pasal 13 berbunyi: "PS dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan
lebih lanjut perintah UU atau PP secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan
pembentukannya".
42)Bahwa selanjutnya pada BAB III UUD 45, terdapat 11 (sebelas) jenis kekuasaan
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (1) UUD 45 adalah meliputi:
- membentuk UU dengan persetujuan DPR.
- menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya.
- memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
- atas persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
- membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan UU harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
- menyatakan keadaan bahaya.
- mengangkat duta dan konsul.
- menerima duta negara lain.
- memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan M.A.
- memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
- memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan UU.
43) Bahwa ayat 6 pasal 18 UUD 45 berbunyi: PEMDA berhak menetapkan PERDA dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
44) Bahwa UUD 45 sama sekali tidak menyebut jenis PPU yang disebut, diistilahkan atau
hal lain yang bermakna seperti "Peraturan Presiden". Hal ini menandakan bahwa PS
sama sekali bukanlah PPU yang diatur dalam konstitusi kita dan bisa dipastikan
keberadaannya secara langsung bukanlah berdasar pada UUD 45.
45) Bahwa munculnya Jenis PS sebagai salah satu PPU pada UU 12/11 telah menyebabkan
para pemohon tidak mendapatkan hak memperoleh kepastian hukum yang adil
mengingat:
a) Menurut kami PS tidak memiliki kekuatan Hukum mengikat karena Presiden tidak
memiliki Hak/kewenangan Konstitusional membentuk PS dimana UUD 45 hanya
menentukan 6 (enam) jenis PPU sebagaimana yang disebutkan pada angka 40)
diatas.
b) PS adalah PPU yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan
- perintah PPU yang lebih tinggi atau
- dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan
- sebagaimana yang disebutkan pada angka 41) huruf a), terhadap menjalankan
perintah PPU yang lebih tinggi, pemohon menganggap jelas terdapat kepastian
hukum mengingat PS tersebut diperintahkan oleh UU yang disetujui oleh DPR atau
oleh PP yang dibentuk atas dasar persetujuan oleh DPR pula, namun yang
menimbulkan ketidakpastian hukum adalah apabila PS ditetapkan dalam rangka
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan, dalam hal ini tidak ada kepastian
kekuasaan mana diantar 11 jenis kekuasaan sebagaimana yang disebut pada angka
42) diatas.
- c) Hierarki PS sebagaimana yang disebutkan pada angka 41) huruf b) ternyata
kedudukannya dibuat lebih tinggi diatas PERDA, menjadi timbul ketidakpastian
hukum yang sangat mendasar mengingat Presiden dalam membentuk PS bukanlah
karena Hak/Kewenangan Konstitusinya bersama DPR, sebaliknya PERDA dibentuk
oleh PEMDA yang memang bersumber dari Hak/kewenangan konstitusionalnya.
Dalam hal ini PS dianggap dibentuk untuk menjalankan dalam menyelenggarakan
kekuasaan pemerintahan sebagaimana disebut pada angka 41) huruf a dan PERDA
dibentuk untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana yang
dimaksud pada angka 40) huruf f diatas, akan sangat berbeda hierarkinya jikaPS
dibentuk atas dasar perintah UU/PP.
- d) Materi muatan Peraturan Presiden sebagaimana disebut pada angka 41) huruf c
adalah berisi:
- materi yang diperintahkan oleh Undang- Undang,
- materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau
- materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
- Dalam hal materi muatan pada huruf a dan huruf b diatas, kami memandang masih
ada kepastian hukum mengingat materi tersebut telah disetujui Presiden bersama
DPR, namun dalam hal materi muatan pada huruf c menjadi timbul ketidakpastian
dalam rangka materi muatan mana atau untuk melaksanakan kekuasaan
pemerintah yang mana diantara kekuasaan pemerintah yang dimaksud pada angka
42).
-
-
e) Ketidakpastian pada angka 45) huruf d) diatas semakin jelas terjadi mengingat pada
penjelasan pasal 13 sebagaimana yang disebut pada angka 41) huruf d yang menyebutkan bahwa PS dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih
lanjut perintah UU atau PP secara
- tegas maupun
- tidak tegas
- diperintahkan pembentukannya.
- Terhadap perintah UU atau PP secara "tegas diperintahkan pembentukannya",
kami pandang masih mengandung kepastian hukum bahwa PS tersebut dibentuk
telah disetujui Presiden bersama DPR, namun dalam hal "tidak tegas diperintahkan
pembentukannya" maka sangat mengandung ketidakpastian hukum apakah DPR
atas persetujuan pembentukan PS tersebut, dalam hal ini jika Pembentukan PS saja
tidak pasti disetujui maka bisa dipastikan "materi muatannya" juga sudah pasti
tanpa persetujuan.
46) Seluruh Ketidakpastian yang timbul akibat diberlakunnya UU 12/11 khususnya pasal 1
angka 6, pasal 7 dan pasal 13 beserta penjelasannya nyata telah merugikan hak
konstitusional para pemohon dan menjadi alasan agar dilakukan pengujian.
IV. PETITUM.
Adapun Petitum yang memuat hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian Materiil sebagaimana yang dimaksud pada huruf d ayat (2) pasal 10
pada PMK 02/21 adalah sebagai berikut:
Kami memohon agar kiranya Majelis Hakim Konstitusi yang mulia mengabulkan
permohonan kami yaitu:
1). Menyatakan bahwa:
- frasa pada materi muatan pada pasal 1 angka 6 UU 12/11 yang berbunyi "atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan" dan atau.
- materi muatan pada huruf e, ayat 1, pasal 7 pada UU 12/11 dan atau
- Isi Pasal 13 dan penjelasannya
yang dimohonkan pengujian adalah bertentangan dengan UUD 45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2). Memerintahkan pemuatan putusan dalam berita Negara Republik Indonesia.
atau dalam hal mahkamah berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex
aequo et bono).
V. PENUTUP
Demikianlah permohonan Uji Material (Judicial Review) ini kami sampaikan, atas perhatian
dan kearifan Majelis Hakim yang mulia kami ucapkan terimakasih.