Kebijakan terkait Pemilihan Penyedia sangat seksi dibicarakan bahkan bukan hanya pelaku PBJ saja namun ramai juga dikalangan Legislator maupun APH, pasalnya kebijakan ini memuat syarat-syarat bagaimana Penyedia dapat memenangkan suatu kontrak pemerintah pada proses pemilihan. Kontrak tersebut terkait paket yang berproses panjang mulai sejak perencanaan penganggaran bahkan disinyalir sejak tahap pengusulan oleh masyarakat, legislatif maupun eksekutif. Pemilihan penyedia menjadi proses kunci apakah orang/penyedia yang telah memantau sejak awal bakal bisa mendapatkan kue APBN/APBD tersebut atau tidak.
Sebelumnya, pedoman, tata cara, standar atau metode terkait Pemilihan Penyedia diatur oleh KemenPUPR dan LKPP dimana pada implementasi kebijakannya menimbulkan polemik yang saya sebut Jilid-I (lebih lanjut baca artikel: Masukan dan Aspirasi Draft PeraturanPemerintah terkait Jasa Konstruksi). Kita tadinya berharap bahwa dengan perombakan besar-besaran berbagai kebijakan yang diistilahkan dengan Omnibuslaw dimana Jasa Konstruksi dan PBJ termasuk kedalam kluster yang terimbas maka polemik diatas tidak muncul lagi, namun siapa sangka pasca terbitnya Pasal 52 UU 11/20; PP 14/21; PS 12/21 dan PerLKPP 12/21 ternyata masih menyisakan sejumlah permasalahan dalam Pemilihan Penyedia yang saya sebut Jilid-II. Meskipun begitu Patut disyukuri bahwa Jilid II ini sudah menjurus ke permasalahan lebih spesifik yaitu kedalam sub bagian dalam Pemilihan Penyedia yang akan coba saya jabarkan dibawah ini.
Menurut UU 02/17 yang telah diubah oleh pasal 52 UU 11/20, Pasal 45 menyebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan Penyedia Jasa dan penetapan Penyedia Jasa dalam hubungan kerja Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 44 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Selanjutnya sebagai pelaksanaan pasal 45 tersebut, pemerintah telah mengeluarkan PP 14/21 jo PP 22/20. Ruang lingkup jasa konstruksi pada UU ini tidak spesifik diatur pada pasal tertentu namun berdasarkan ketentuan umumnya jelas disebut bahwa Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi. Dimana lebih lanjut ditentukan bahwa yang dimaksud Konsultansi Konstruksi adalah layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan dan yang dimaksud Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan. Sedangkan yang dimaksud Konstruksi adalah rangkaian kegiatan untuk mewujudkan, memelihara, menghancurkan bangunan yang sebagian dan/atau seluruhnya menyatu dengan tanah atau tempat kedudukannya menyatu dengan tanah. Kurang jelas apakah yang dimaksud Pemilihan Penyedia termasuk rangkaian kegiatan sebagaimana yang dimaksud tentang konstruksi.
Namun faktanya PP 14/21 melalui Pasal 74A-nya menyebutkan bahwa Ketentuan pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi yang menggunakan sumber pembiayaan dari keuangan negara diatur dengan Peraturan Presiden. Apakah yang dimaksud peraturan presiden tersebut adalah PS 12/21 ? hal ini sangat berdasar dipertanyakan mengingat belum ada PS lain yang mengatur pemilihan penyedia selain PS 12/21, disamping itu PP 14/21 sama sekali tidak menjadi dasar hukum pembentukannya. Pasal 74A ini telah pula menimbulkan multitafsir lain apakah setiap sumber pembiayaan konstruksi berasal dari keuangan negara harus mengikuti peraturan presiden ini, maknanya meluas jika dibandingkan PS 12/21 yang hanya dipakai jika sumber pembiayaannya berasal dari APBN/APBD (lebih lanjut baca artikel BUMN/BUMD/BUMDES/BLU/BLUD wajib "memakai" PS 12/21).
Multitafsir lainnya adalah tidak jelasnya ruang lingkup atau batasan pemilihan penyedia Jasa konstruksi tersebut sampai sejauh mana, hal ini dikarenakan terjadinya persinggungan ruang lingkup atau batasan PBJ dimana sama-sama kita ketahui bahwa Jasa Konstruksi adalah bagian dari PBJ. Namun apabila dibolehkan mendefinisikan ruang lingkup pemilihan penyedia dengan melakukan pendekatan struktur pasal per pasal, maka ruang lingkup Pemilihan Penyedia berada pada Bagian Ketiga (Pemilihan dan Penetapan Penyedia Jasa) PP 14/21 jo PP 22/20 khususnya dari pasal 60 s/d 72, yaitu Metode Pemilihan Penyedia Jasa meliputi sistem penilaian Kualifikasi, sistem evaluasi penawaran. Dari pasal 73 s/d 74A (paragraf 3) sebenarnya sudah berbicara Penetapan Penyedia Jasa namun ternyata masih mengatur ketentuan pemilihan penyedia. Lantas pasal 70 dan 74A yang benar yang mana ya.?
Presiden berdasarkan kewenangannya melaksanakan UU 01/04 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang telah diubah oleh UU 11/20 (UU 30/14') dengan mengeluarkan PS 16/18 jo PS 12/21. Berdasarkan UU 30/14', Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, sedangkan yang dimaksud dengan Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik.
Lebih lanjut, dalam melaksanakan kewenangannya, Presiden menugaskan LKPP yang merupakan satu-satunya lembaga pemerintah untuk mengembangkan dan merumuskan kebijakan pengadaan barang/jasa Pemerintah, perlu diketahui bahwa Presiden hanya memerintahkan LKPP, bukan KemenPUPR ataupun lembaga lain. Ruang Lingkup kegiatan PBJ cukup luas yaitu kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh APBN/APBD yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan. PBJ yang diatur meliputi: a. Barang; b. Pekerjaan Konstruksi; c. Jasa Konsultansi; dan d. Jasa Lainnya. Dapat disimpulkan bahwa LKPP juga berwenang mengatur PBJ konstruksi dimulai dari identifikasi kebutuhan sampai Serah terima hasil pekerjaan.
Sesuai dengan ketentuan UU 12/11 jo UU UU 15/19, Pasal 8 disebutkan bahwa Jenis Peraturan Perundang-undangan selain:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
yaitu mencakup peraturan yang ditetapkan oleh (nomor 9) Menteri, dan (nomor 10) badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Maka Peraturan Perundang-undangan (PUU) sebagaimana dimaksud diatas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh PUU yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Sampai disini jelas terlihat baik PP 14/21 maupun PS 12/21 diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Lantas bagaimana dengan peraturan menteri dan peraturan lembaga sebagai pelaksanaan PP dan PS diatas dalam mengatur kebijakan Pemilihan Penyedia ? Mari kita uraikan satu per satu :
1. Peraturan Lembaga.
Apakah ada penugasan PUU yang lebih tinggi?
Sangat jelas berdasarkan PUU yang lebih tinggi yaitu PS 12/21 menugaskan LKPP dalam mengatur terkait Pemilihan Penyedia. Menjadi pertanyaan besar apakah penugasan tersebut sampai-sampai mengatur kebijakan mulai dari penerbitan SPPBJ, penandatangan Kontrak hingga berita acara serah terima ke-dua (FHO)? Penugasan PS 12/21 terhadap LKPP pasca tahapan pemilihan selesai dapat dilihat pada pasal 91 huruf v, w, x, y yaitu bahkan sampai ke pengembangan sistem dan kebijakan dalam Pengadaan Barang/Jasa.
Apakah dibentuk berdasarkan kewenangannya?
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang LKPP sebagaimana diubah Peraturan Presiden nomor 157 tahun 2014 tentang LKPP disebutkan bahwa LKPP adalah Satu-satunya lembaga pemerintah yang mempunyai tugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan pengadaan barang/jasa Pemerintah. Salah satu fungsi lembaga ini adalah dalam penyusunan dan perumusan strategi serta penentuan kebijakan dan standar prosedur di bidang pengadaan barang/jasa Pemerintah termasuk pengadaan badan usaha dalam rangka kerjasama Pemerintah dengan badan usaha;
Kesimpulan 1:
Tidak diragukan lagi bahwa Kebijakan LKPP yang mengatur dari identifikasi pengadaan sampai berita acara serah terima, dalam hal ini PerLKPP 12/21 tidak diakui keberadaannya dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena tidak diperintahkan oleh PUU yang lebih tinggi dan dibentuk berdasarkan kewenangan.
2. Peraturan Menteri.
Apakah ada penugasan PUU yang lebih tinggi?
PUU yang lebih tinggi yaitu PP 14/21 tidak menugaskan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat melainkan mengaturnya dalam bentuk Peraturan Presiden sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 74A.
Apakah dibentuk berdasarkan kewenangannya?
Apabila kita cermati Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2020 tentang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat maka kita tidak menemukan kewenangan kementrian ini dalam mengatur pemilihan penyedia. Salah satu fungsinya yang bisa disambung-sambungkan adalah pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Presiden, dan mungkin saja ini yang dimaksud adalah fungsi pembuatan kebijakan terkait pemilihan penyedia. Jika benar dugaan itu, maka saya mengusulkan agar surat penetapan presiden terkait fungsi tambahan tersebut dibukakan ke Publik.
Kesimpulan:
Menteri PUPR berhak membuat kebijakan terkait Pelaksanaan PP 14/21 kecuali Ketentuan pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi dengan asumsi Peraturan Presiden yg dimaksud pada pasl 74A PP 14/21 adalah PS 12/21 dan satu-satunya lembaga yang berwenang terkait kebijakan pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi adalah LKPP. Dalam hal ini, materi PM 14/20 dan PM 25/20 yang mengatur Ketentuan pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi jelas tidak dapat diakui keberadaannya karena justru bertentangan dengan PP 14/21.
Dari penjabaran tersebut justru saya menemukan masalah yang sebenarnya adalah terdapatnya ruang lingkup/pekerjaan yang tumpang tindih (overlapping) antara pelaksanaan PP 14/21 oleh KemenPUPR dan pelaksanaan PS 12/21 oleh LKPP dimana kedua instansi ini sama- sama berhak mengatur Ketentuan PBJ Konstruksi terkait tahapan pasca pemilihan penyedia. Pada perLKPP 12/21, faktanya turut mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah melalui Penyedia diantaranya: f. pelaksanaan Kontrak; g. serah terima; dan h. penilaian Kinerja Penyedia. Meskipun pelaksanaan PP 14/21 sampai saat ini belum ada yang keluar, namun sangat jelas menugaskan menteri PUPR untuk membuat Kebijakan antara lain terkait Kontrak Kerja Konstruksi (Bagian Keempat) dan Penyelesaian Sengketa (Bagian Ketujuh), artinya ini pasti jadi PR KemenPUPR kedepannya.
Ketentuan tentang Pemilihan Penyedia pada PM 14/20 dan PM 25/20 pasti tidak berlaku karena bertentangan dengan PP 14/21, namun ketentuan lain diluar itu masih berlaku karena menteri PUPR juga belum mencabutnya malahan justru Hierarkinya lebih tinggi karena diperintahkan oleh PP atas dasar perintah UU sebagaimana yang dimaksud pada pasal 70, sedangkan PerLKPP 12/21 diperintahkan oleh PS atas dasar kewenangan menjalankan UU. Permasalahan satu-satunya pada kedua PM tersebut apakah isinya dapat dianggap sebagai pelaksanaan PP 14/21 mengingat kedua aturan tersebut tidak menjadikan PP 14/21 jo PP 22/20 sebagai dasar hukumnya. Salah satu contoh materi yang mesih berlaku adalah Ketentuan terhadap PjHP & PPHP yang dihapus di PerLKPP 12/21, karena pelaku ini jelas diluar dari urusan pemilihan.
Overlapping pekerjaan tersebut sangat jelas merugikan keuangan negara dan menjadi ciri khas bahwa manajemen organisasi pemerintahan tidak berjalan secara value for Money (ekonomi, efektif dan efisien). Kasus diatas akan sangat membingungkan Publik dalam implementasi kebijakannya. Contoh lain yang saat ini membingungkan publik khususnya dalam hal pengembangan Penyedia Konstruksi yaitu munculnya aplikasi yang mirip-mirip seperti Sistim Informasi Kinerja Penyedia (SIKaP) oleh LKPP dan Sistim Informasi Pengalaman (SIMPAN) oleh KemenPUPR, menurut saya pengembangan kedepannya kedua aplikasi ini akan tidak jauh berbeda. Semoga kedepannya untuk pekerjaan Overlapping kedua instansi ini mampu mengeluarkan peraturan bersama sehingga kepatuhan pelaksanaan perintah sama-sama terlaksana dan kepentingan Publik tidak terganggu.
Salam Kebijakan Publik