—————————— ◆ ——————————
1. PENDAHULUAN
Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Pemerintah adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/ Perangkat Daerah (K/L/PD) yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan yang terdiri dari belanja Barang/Jasa (Barjas) serta Belanja Modal. Kebijakan Pengadaan di Indonesia saat ini diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/18'). Pengadaan Barang/Jasa dalam Perpres ini meliputi: Barang; Pekerjaan Konstruksi; Jasa Konsultansi; dan Jasa Lainnya.
PBJ sendiri dilaksanakan dengan dua cara yaitu Swakelola; dan/atau Penyedia. Swakelola adalah cara memperoleh barjas yang dikerjakan sendiri oleh K/L/PD, K/L/PD lain, organisasi masyarakat (Ormas), atau kelompok masyarakat (Pokmas) sedangkan Penyedia adalah badan usaha atau perseorangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu yang menyediakan barjas berdasarkan kontrak.
Penelitian ini dilakukan dalam rangka menjawab keluhan Penyedia golongan Usaha Mikro Kecil (UMK). Mereka mempertanyakan maraknya Pengadaan yang dibiayai oleh Belanja Negara/Daerah yang dilakukan tanpa diketahui publik secara meluas, pengadaan ini juga dilaksanakan tanpa melalui Proses Tender karena langsung dikerjakan oleh Aparat Sipil Negara (ASN), Ormas dan Pokmas. Pengadaan tersebut antara lain pekerjaan pembangunan, rehab maupun pemeliharaan gedung, pengadaan pakaian, tenaga cleaning services/keamanan dan lainnya. Terjadi kecemburuan sosial dan Ekonomi antara UMK yang merupakan Badan Usaha yang mengeluarkan modal kerja (Peralatan, Tenaga Kerja dan Perizinan berusaha) terhadap ASN, Ormas dan Pokmas yang bukanlah Badan Usaha sama sekali namun mendapat perhatian khusus dari Negara dengan porsi yang sangat besar. Kecemburuan tersebut diperparah Pandemi Covid-19 yang membuat ekonomi UMK semakin terpuruk karena sektor Swasta harapan terakhir pengguna barang/jasa-nya ternyata berhenti total, disisi lain alokasi Belanja Negara/Daerah untuk porsi Penyedia ternyata juga banyak yang stop maupun dialihkan ke Penanganan Covid. Dengan kajian ini, besar harapan dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang dialami mereka.
Berdasarkan Laporan Kinerja Pelaksanaan PBJ K/L/PD tahun 2022 data end year 2022 (https://monev.lkpp.go.id/flipbookkl/) yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), total Rencana Umum Pengadaan (RUP) Belanja Barang/Jasa Pemerintah tahun 2022 yang diumumkan di Sistem RUP sebesar Rp. 1.204,97 Triliun (T). Dari Total RUP barjas tersebut, Rp. 410,37 T(34,10%) direncanakan dikerjakan melalui swakelola murni tanpa penyedia dan selebihnya dikerjakan melalui Penyedia Rp. 794,6 T (65,9%). Dari total alokasi penyedia, hanya Rp. 181,25 T (22,8%) diperuntukkan bagi UMK. Berdasarkan olahan data dari Overview RUP 2022 LKPP (https://lookerstudio.google.com/embed/u/0/reporting/4482ff4e-f62b-4454-98eb-7ebae94e3401/page/IjAmC), total jumlah paket dialokasikan untuk Swakelola adalah sebanyak 1.790.215 (35,8%) dengan rata-rata nominal per paket swakelola adalah sebesar Rp. 229.229.450,-(diolah).
Berdasarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, KecilL, dan Menengah maka ambang batas nilai hasil penjualan tahunan paket pengadaan barang jasa yang bisa dikerjakan UMK adalah paling banyak Rp. 2.500.000.000, -(Dua Milyar Lima Ratus Juta Rupiah), namun oleh Pasal 85 Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja tentang perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, nilai tersebut telah dinaikkan menjadi Rp. 15.000.000.000, -(Lima Belas Milyar Rupiah) yang diberlakukan sejak tanggal 20 November 2020. Rata-rata Nominal Paket Swakelola masih berada dibawah ambang batas nilai hasil penjualan tahunan paket pengadaan barang jasa yang bisa dikerjakan UMK.
Berdasarkan data resmi Rencana Strategis Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tahun 2020-2024 (https://kemenkopukm.go.id/uploads/laporan/1600168483_RENSTRA%202020-2024%20OK.pdf) bahwa pada tahun 2018 terdapat jumlah UMK sebanyak 64.283.132 Unit (olahan data). Berdasarkan LKPP dalam surat jawaban permohonan Informasi publik nomor 21327/Ses.3/10/2021 bahwa pertanggal 28 September 2021 terdapat sebanyak 429.868 Penyedia yang terdaftar di LPSE. Dengan asumsi bahwa Penyedia seluruhnya adalah UMK maka dapat dikatakan hanya 0,27% saja UMK yang ikut berpartisipasi langsung pada pasar PBJ. Untuk dapat mengikuti kegiatan Pengadaan Pemerintah, setiap penyedia diwajibkan memiliki Akun Elektronik dengan cara mendaftar di LPSE tentunya setelah memenuhi persyaratan dasar seperti Perizinan dan Legalitas badan usaha, tanpa akun LPSE maka UMK hanya dapat berpartisipasi sebagai subpenyedia.
Di level Internasional terdapat Dua Pedoman Pengadaan yaitu World Trade Organization (WTO) dengan pedoman Agreement on Government Procurement (GPA 2012) dan United Nations (UN) dengan pedoman UNCITRAL Model Law on Public Procurement of Goods, Construction and Services (2011). Meskipun begitu, kebijakan PBJ Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi satupun pedoman tersebut dan menggunakan Peraturan Presiden sebagai kebijakan tertinggi dalam mengatur PBJ-nya.
Indonesia resmi memperkenalkan Swakelola sebagai Metode/Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemborongan dan Jasa lainnya melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan masih tetap dipakai hingga saat ini, di European Union (EU), Swakelola (In-House) pertama sekali diperkenalkan pada kebijakan Directive 2004/18/EC, namun aturan ini telah dicabut oleh Directive 2014/24/EU dan dinyatakan sebagai pengadaan pengecualian yang dilaksanakan secara sangat ketat.
PBJ di Indonesia yang tunduk kepada Perpres 16/18' dilaksanakan sesuai prinsip Efisien; Efektif; Transparan; Terbuka; Bersaing; Adil; dan Akuntabel. PBJ menurut GPA 2012 hanya berdasarkan prinsip Non-discrimination, Transparency and Procedural fairness. PBJ menurut Model Law (2011) mengacu kepada prinsip Objectivity, Fairness, Participation, Competition, and Integrity. Terkait Swakelola, baik GPA 2012 maupun Model Law (2011) tidak menyarankan dilakukan pada PBJ yang nilainya berada diatas Nilai Ambang Batas namun untuk yang nilainya dibawah ambang batas maka kebijakannya diserahkan kepada negara masing-masing. Sebagai perbandingan, kami mengacu ke Jerman mengingat 90% dari total jumlah PBJ-nya (75% dari total nilai pagu) berada di bawah ambang batas EU (2018), disamping itu Negara ini juga terkenal memiliki sistem pengadaan yang cepat, fleksibel, efisien, dan rendah birokrasi. PBJ yang dibawah Ambang batas EU harus mematuhi kebijakan Unterschwellen-vergabeordnung Edisi 2017. Prinsip mereka adalah Transparansi, Persaingan, non diskriminasi, Perlakuan yang sama, Kepentingan untuk usaha kecil dan menengah, Keberlanjutan dan e-Procurement. Swakelola di Jerman adalah prosedur yang dikecualikan dan pengawasannya sangat ketat yang tidak boleh melanggar prinsip Kepentingan untuk Usaha Kecil dan Menengah, meskipun tidak ada larangan namun pada prakteknya Swakelola hampir mustahil ditemukan.
Tata cara swakelola di Indonesia diatur Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola (PLKPP 03/21). Swakelola dilaksanakan manakala barjas yang dibutuhkan tidak dapat disediakan atau tidak diminati oleh pelaku usaha atau lebih efektif dan/atau efisien dilakukan oleh Pelaksana Swakelola. Swakelola dapat juga digunakan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya/kemampuan teknis yang dimiliki pemerintah, barjas yang bersifat rahasia dan mampu dilaksanakan oleh K/L/PD yang bersangkutan, serta dalam rangka peningkatan peran serta/pemberdayaan Ormas dan Pokmas. Swakelola dilaksanakan oleh Penyelenggara Swakelola yang terdiri dari: Tim Persiapan, Tim Pelaksana, dan Tim Pengawas. Untuk Jenis Tipe Swakelola dan penetapan Penyelenggaranya sendiri adalah sebagai berikut:
a. tipe I yaitu Swakelola yang direncanakan, dilaksanakan, dan diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran; Penyelenggara Swakelola ditetapkan oleh Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
b. tipe II yaitu Swakelola yang direncanakan, dan diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran dan dilaksanakan oleh K/L/PD lain pelaksana Swakelola; Tim Persiapan dan Pengawas ditetapkan oleh PA/KPA, dan Tim Pelaksana ditetapkan oleh K/L/PD pelaksana Swakelola. Tim Pelaksana pada K/L/PD pelaksana Swakelola dapat ditetapkan oleh Pejabat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
c. tipe III yaitu Swakelola yang direncanakan dan diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran dan dilaksanakan oleh Ormas pelaksana Swakelola; Tim Persiapan dan Tim Pengawas ditetapkan oleh PA/KPA, dan Tim Pelaksana ditetapkan oleh pimpinan calon pelaksana Swakelola.d. tipe IV yaitu Swakelola yang direncanakan oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran dan/atau berdasarkan usulan Pokmas, dan dilaksanakan serta diawasi oleh Pokmas pelaksana Swakelola. Tim Persiapan, Tim Pelaksana, dan Tim Pengawas ditetapkan oleh pimpinan Pokmas pelaksana Swakelola.
Dalam menganalisa Implementasi Kebijakan terkait Swakelola maka kami mencoba mengukur apakah ketujuh prinsip PBJ yang diatur di Perpres 16/18' tidak dilanggar, sebagai pembanding hasil pengukuran maka di bagian akhir kami juga akan menampilkan hasil penelitian yang mendukung kajian kami ini. Pada bagian pembahasan akan dijabarkan pengukuran kepatuhan Swakelola terhadap tujuh prinsip PBJ di Indonesia, sebagai catatan mengingat pada Perpres 16/18' tidak memiliki bagian penjelasan maka definisi setiap prinsip diambil dari Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang meskipun telah dicabut namun masih dianggap valid karena ketentuan tentang prinsip PBJ tidak mengalami perubahan sebagai berikut:
1) Efisien yaitu Harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang minimum untuk mencapai kualitas dan sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil dan sasaran dengan kualitas yang maksimum.2) Efektif yaitu Harus sesuai dengan kebutuhan dan sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.3) Transparan yaitu semua ketentuan dan informasi mengenai PBJ bersifat jelas dan dapat diketahui secara luas oleh Penyedia Barjas yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.4) Terbuka, yaitu Pengadaan dapat diikuti oleh semua Penyedia Barjas yang memenuhi persyaratan/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas.5) Bersaing, berarti PBJ harus dilakukan melalui persaingan yang sehat diantara sebanyak mungkin Penyedia Barjas yang setara dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh Barjas yang ditawarkan secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam PBJ.6) Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon Penyedia Barjas dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.7) Akuntabel yaitu Harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan PBJ sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
2. METODE RISET/KAJIAN
Penelitian ini dilakukan dengan Metode Kualitatif yaitu dengan melakukan studi literatur terhadap kebijakan Nasional dan Internasional di bidang Pengadaan. Pendekatan dilakukan dengan Pendekatan Deskriptif Normatif yaitu Norma Kebijakan dideskripsikan lalu dibandingkan terhadap Implementasi di lapangan baik terhadap Peraturan Petunjuk Teknis Pelaksanaan maupun Praktek yang terjadi dilapangan.
3. PEMBAHASAN
Terhadap implementasi tujuh prinsip PBJ pada swakelola di Indonesia, kami menemukan bahwa:
1) Terhadap Prinsip Efisien: Berdasarkan ketentuan Kontrak swakelola pada PLKPP 03/21, ternyata untuk Type I tidak ada Negosiasi harga dan untuk Type II sampai IV dilakukan Negosiasi Harga antara PPK dan Tim Pelaksana. Prosedur Negosiasi yang dilakukan keduanya akan kental bernuansa Korupsi Kolusi Nepotisme karena prosesnya diadakan tertutup, seleksi Tim Pelaksanaanya tidak transparan dan para pihak berada pada kendali satu Pimpinan/berafiliasi. Kehadiran Ormas/Pokmas juga disinyalir atas dasar pertemanan dan hubungan tidak profesional yang cenderung terjadi barter kepentingan. Hal ini sangat berbeda apabila pengadaan tersebut dilakukan melalui penyedia yang melakukan penawaran harga yang sangat kompetitif dan transparan melalui LPSE.2) Terhadap Prinsip Efektif: Pelaksanaan dan Pengawas berada pada kendali satu Pimpinan/berafiliasi yang berpotensi membuat capaian sasaran kualitas barjas tidak sesuai harapan, hal ini disinyalir menjadi transaksional yang saling menguntungkan akibat tidak efektifnya pengawasan. Berbeda jika dilakukan melalui penyedia karena pengawasannya dilakukan oleh penyedia yang lain.3) Terhadap Prinsip Transparan: Pada deskripsi transparan jelas menyebutkan kata Penyedia, jadi sedari awal memang PBJ diperuntukkan hanya untuk Penyedia. Swakelola bisa saja menggunakan jasa penyedia namun pelaksanaan PBJ-nya sudah mengacu ke Peraturan LKPP Nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia.
a. Sebagai masyarakat, ketersediaan Informasi tentang Swakelola ini sangat minim, dengan mengambil penyajian informasi terkait swakelola pada LPSE (gambar 1), terlihat tidak ada informasi Spesifikasi, Kualitas dan Kuantitas barjas yang diadakan, tidak pula tercantum siapa Penyelenggara swakelolanya dan berapa efisiensi harga yang ditawarkannya terhadap Nilai Pagu.b. Pada tahun anggaran 2020, dari realisasi Belanja sebesar 390,08 T, terdapat 328,8 T diadakan melalui Penyedia dan sisanya 61,70 T dilakukan secara Swakelola dan hanya 4 T yang dilaporkan di LPSE sedangkan sisanya 57,70 T tidak jelas Informasinya, ini terjadi karena Pimpinan K/L/PD tidak mencatatkan realisasi belanja Swakelolanya di LPSE. Dalam hal ini LKPP hanya mensyaratkan kepada PA/KPA melakukan pencatatan saja namun meskipun hanya begitu tetap laporan pencatatannya tidak Transparan.
4) Terhadap Prinsip Terbuka, Bersaing dan Adil: Tidak dapat diukur mengingat 3 prinsip ini sudah pasti tidak terpenuhi karena tidak melibatkan Penyedia.5) Terhadap Prinsip Akuntabel:
a. Pekerjaan Konstruksi yang dikerjakan secara swakelola bertentangan dengan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 52 tentang perubahan Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juncto Peraturan Pemerintah Nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko juncto Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 06 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor PUPR. Seharusnya pekerjaan Konstruksi dikerjakan oleh Badan Usaha yang memiliki Sertifikat Badan Usaha Konstruksi (SBU) karena Jasa Konstruksi merupakan pekerjaan beresiko Menengah Tinggi, dan untuk memperoleh SBU, Menteri mewajibkan pelaksanaanya memiliki Nomor Induk Berusaha dan Sertifikat Keterampilan Kerja Konstruksi. Penyelenggara Swakelola jelas tidak bisa memenuhi perizinan seperti ini dan tindakannya yang mengerjakan pekerjaan konstruksi tanpa memiliki perizinan standar jelas tidak akuntabel.b. Pemberdayaan UMK pada pasar PBJ belum maksimal sebagaimana yang diperintahkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 85 tentang perubahan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah junto Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro Kecil dan Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Paket-paket pekerjaan Swakelola rata-rata dibawah Lima Belas Milyar rupiah adalah lahan yang dapat disediakan dan sangat diminati UMK. Belanja Negara/Daerah semestinya berfungsi sebagai perangsang pasar dari produk UMK sehingga Pemberdayaannya haruslah semaksimal mungkin. Dengan memberdayakan ASN/Ormas/Pokmas melalui Swakelola maka secara otomatis akan mengucilkan partisipasi UMK pada penggunaan Dana Publik dan Pelaksanaan PBJ menjadi tidak akuntabel terhadap PPU diatas. Untuk tahun 2022 saja Pemerintah mengalokasikan 415,00 T untuk Swakelola sedangkan UMK hanya 265,19 T. Ratio Swakelola yang 1,65 kali lebih besar dari UMK, ini menandakan bahwa PBJ kita sebenarnya lebih memberdayakan ASN/ormas/pokmas ketimbang UMK, padahal PPU memerintahkan yang diberdayakan semaksimal mungkin harusnya adalah UMK.
Terhadap implementasi prinsip Pengadaan negara lain pada swakelola telah pula diteliti oleh Virginijus Kanapinskas dan kawan-kawan (dkk) pada artikelnya berjudul In-House Procurement exception: threat for sustainable procedure of public procurement? karena Negara Lithuania adalah anggota EU maka sistem PBJ-nya terikat pada Directive 2014/24/EU. Statement mereka menunjukkan bagaimana Swakelola harusnya dijadikan pengecualian dari sistem PBJ serta diawasi secara ketat karena dampaknya terhadap moral hazard dan tidak ekonomis. Mereka menekankan bahwa setiap Penerapan "pengecualian" pada pengadaan publik patut dipertanyakan karena setiap penyimpangan dari aturan umum sering menciptakan prasyarat untuk pelanggaran prinsip pengadaan seperti transparansi, akuntabilitas, keterbukaan, dan kesetaraan hak pemasok. Hal tersebut juga berlaku untuk pengecualian Swakelola karena penggunaannya dapat menimbulkan korupsi, pembelian yang tidak transparan, serta mengancam efisiensi pengadaan dan persaingan yang sehat. Swakelola pada dasarnya menghilangkan persaingan yang merupakan sifat dasar dari Undang-Undang pengadaan publik EU. Kebutuhan dan manfaat persaingan untuk pengadaan publik tidak diragukan lagi karena hanya persaingan yang memungkinkan pemasok untuk meniru kekuatan satu sama lain dan untuk memperebutkan pasar, yang berarti harga barjas yang lebih rendah dan kualitas yang lebih tinggi. Pada dasarnya, hanya persaingan dalam pengadaan publik yang dapat memastikan penggunaan dana publik secara efektif.
4. PENUTUP
Keberadaan Swakelola pada PBJ sejak awal telah melanggar prinsip Transparan, Terbuka, Bersaing dan Adil karena memang prinsip-prinsip ini didesain hanya untuk PBJ melalui Penyedia. Meskipun tetap dipaksakan, pada pelaksanaannya juga masih melanggar prinsip Efisien, Efektif dan Akuntabel sehingga pada akhirnya Swakelola telah melanggar keseluruhan prinsip PBJ. Indonesia tidak seperti negara Jerman yang telah meratifikasi GPA 2012 sehingga para UMK-nya terlindungi bahkan menjadi prioritas sebagai Penyedia pengadaan negaranya.
Pembiaran Swakelola tanpa pengawasan yang ketat akan membuat PA/KPA semakin leluasa menghindari Penyedia karena sesungguhnya prinsip tersebut mengekang PA/KPA dalam "mengendalikan" Anggaran secara makna sempit, dengan memilih Swakelola mereka terbebas dari kewajiban yang mengekang, swakelola justru jalan melegalkan pelanggaran prinsip PBJ seperti tanpa perlu mempertimbangkan asas efisiensi penggunaan Dana Publik yang tentunya berakibat terjadinya pemborosan Belanja Negara/Daerah.
Sistem Belanja Negara/Daerah yang seharusnya diharapkan sebagai tools pemerataan kesejahteraan ekonomi rasanya tidak berlaku dikalangan UMK. Keberadaan Swakelola di pasar PBJ justru menjadi saingan yang tak seimbang bagi mereka, meskipun para PA/KPA selalu berdalih tidak seperti itu namun dengan kewenangan dan fasilitas yang diberikan negara terbukti telah berhasil menyingkirkan produk UMK, tercatat Partisipasi para UMK terhadap Pasar PBJ sangatlah rendah yaitu hanya 0,27%. Pemerintah seharusnya mengedepankan Pembinaan terhadap Penyedia agar berminat dan tertarik bukan sebaliknya malah menjadi saingan berusaha dalam menyediakan barjas, akibat selanjutnya para penyedia tidak berminat memasuki pasar Belanja Negara/Daerah karena paket yang disediakan sangat sedikit.
REFERENSI
- Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
- Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
- Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
- Undang-Undang nomor 01 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
- Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
- Peraturan Pemerintah nomor 07 tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
- Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
- Instruksi Presiden nomor 02 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro Kecil dan Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
- Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
- Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
- Keputusan Presiden Nomor 18 tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
- Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 06 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor PUPR.
- Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 03 tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola.
- Laporan Kinerja Pelaksanaan Pengadaan Barjas K/L/PD tahun 2020 yang dirilis tanggal 28 Desember 2020.
- Laporan Kinerja Pelaksanaan Pengadaan Barjas K/L/PD tahun 2022 yang dirilis tanggal 11 April 2022.
- UNCITRAL Model Law on Public Procurement of Goods, Construction and Services (2011).
- WTO Agreement on Government Procurement (GPA 2012).
- Directive 2014/24/EU of the European Parliament and of The Council of 26 February 2014 on public procurement and repealing Directive 2004/18/EC.
- Federal ministry for business and energy, the rules of procedure for the award public supply and service contracts below the EU thresholds (Unterschwellenvergabeordnung - UVgO) – Edition 2017.
- Silalahi, B., Rustam, R., Siagian, V., 2021, "Implementation Analysis of Government Procurement Policy to Increase Value for Money", SSRN Indexing., diakses pada 31 Januari 2023 melalui http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3988798.
- Ionel PREDA., 2019, "Comparative Analysis of the Characteristics of Public Procurement Systems in Germany, France and Romania. Review of International Comparative Management Volume 20.
- Virginijus Kanapinskas, Žydrūnas Plytnikas, Agnė tvaronavičienė., 2014, "in-House Procurement exception: threat for Sustainable Procedure of Public Procurement?" journal of Security and Sustainability Issues ISSN 2029-7017/ISSN 2029-7025 online 2014 Volume 4(2): 147–158 http://dx.doi.org/10.9770/jssi.2014.4.2(4).
Informasi Tambahan:
- Penelitian ini telah meraih Best Paper pada Konferensi Munas Asosiasi Ahli Kebijakan Indonesia (AAKI) tahun 2023.
- Paper berbahasa Inggris Publikasi SSRN (Elsevier punya), dapat didownload pada https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=4371643.