SURAT TERBUKA
Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil
Kepada Yth.
Pertama sekali kami mengucapkan selamat menjalankan Ibadah Puasa bagi Bapak Presiden dan Keluarga serta bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjalankannya.
Kami sangat berterimakasih atas telah dikeluarkannya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/20) yang digagas oleh Pemerintah. Begitu banyak Kebijakan yang berorientasi dalam penciptaan Lapangan kerja khususnya terkait Kebijakan Kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil. Ini adalah gagasan yang sangat luar biasa apalagi ditengah situasi ekonomi terdampak pandemi Covid-19 yang sampai surat ini dibuat belum ada kepastian kapan pandemi akan berakhir.
Sampai saat ini begitu banyak aturan pelaksanaan dari UU 11/20 yang telah dikeluarkan dan yang terbaru adalah dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk UMK dan KOPERASI dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Inpres 02/22) pada tanggal 30 Maret 2022. Tanpa bermaksud menggurui melainkan mencoba mengingatkan bahwa sebaik apapun suatu kebijakan, itu barulah langkah awal yang implementasinya harus dibuktikan apakah mampu dilaksanakan para stake holder apalagi jika terdapat kepentingan yang berbeda dari Visi Misi Presiden.
Mengutip tulisan William N. Dunn pada bukunya berjudul Public Policy Analysis: An Integrated Approach (2017) menyebutkan "The consequences of policies are never fully known in advance. For this reason, the policy- analytic procedure of monitoring is essential to policy analysis. Indeed, much of the work of policy analysis is carried out after policies have been prescribed and adopted". Maka kami sebagai bagian dari UMK yang tersebar di banyak Provinsi di Indonesia yang merupakan pemanfaat langsung kebijakan ini merasa terpanggil untuk turut mensukseskan Instruksi Presiden diatas, oleh karena itu bersamaan dengan surat ini kami berusaha memberikan masukan kepada Pemerintah dalam bentuk kajian kondisi UMK pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) (lampiran 1). Adapun analisanya didasarkan pada Monitoring apa yang dialami dan terjadi pada UMK khususnya yang menggantungkan nasib pada Belanja Barang/Jasa Pemerintah. Dengan begitu tujuan dari Surat terbuka kami ini adalah agar Instruksi Presiden dijalankan dengan mempertimbangkan masukan langsung dari kami para Pelaku PBJ sehingga besar harapan program Kemudahan, Perlindungan dan Pemberdayaan UMK berhasil mensejahterakan masyarakat khususnya UMK.
Demikianlah surat ini kami sampaikan, disamping itu kami juga berharap untuk diikut sertakan minimal dalam bentuk pengawasan secara aktif Implementasi Inpres 02/22 di seluruh Indonesia dan kami juga bersedia melakukan diskusi terbuka apabila ada yang harus diselaraskan antara Pemerintah dan UMK Penyedia PBJ. Atas perhatiannya kami mengucapkan terimakasih dan mohon maaf apabila terjadi suatu kesalahan.
Tembusan
-
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
-
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Menteri Keuangan
Menteri Dalam Negeri
Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
-
Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia
-
Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI).
-
Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI)
Notes:
Untuk mempermudah surat menyurat/komunikasi, untuk sementara bisa menghubungi sdr. Bonatua Silalahi, Unit 12 lantai 16 Tower A, The Light, Signature Park Grande Apartment, Jl. M.T. Haryono Kav. 20 Cawang Jakarta Timur, HP/WA: 08 211 211 8611/087883523473; email: Bonatua.766hi@gmail.com.
Lampiran 1.
Kajian kondisi UMK pada PBJ
Kajian ini terkait Implementasi kebijakan Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan UMK dalam PBJ dalam rangka kontrol sosial, menguatkan dan memberi masukan terhadap Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk UMK dan KOPERASI dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Inpres 02/21).
Berikut adalah hasil kajian dari kami disertai dengan data dan asumsi terhadap keterbatasan data yang disajikan langsung pertiap instruksi beserta pembahasannya:
1) Pada Instruksi Pertama nomor 1 disebutkan: Menetapkan dan/atau mengubah kebijakan dan/atau peraturan perundang-undangan untuk mempercepat peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan pemberdayaan UMK dan Koperasi.
Pembahasan:Menurut catatan kami, dalam kurun tahun 2019 sampai 2022 pada Rencana Umum Pengadaan terdapat (rata-rata) 1,39 juta Paket/tahun dengan nilai nominal (rata-rata) Rp. 322 Triliun (T) per tahun dikerjakan secara Swakelola (Monev LKPP, Update). Mayoritas paket tersebut bisa dan sangat diminati para Penyedia UMK yang terdaftar di LPSE. Menurut pandangan kami, adanya Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola (PLKPP 03/21) yang tidak melarang Paket yang bisa diadakan dan sangat diminati para Penyedia UMK dikerjakan secara swakelola oleh Pengguna Anggaran. Kami mohon kebijakan ini agar memberdayakan UMK semaksimal mungkin, sangat tidak tepat terlebih lagi pada situasi Pemulihan Ekonomi saat ini Pengguna Anggaran ngotot memberdayakan Aparat Sipil Negara (ASN) mengerjakan PBJ-P, perlu pemerataan Ekonomi mengingat mereka sudah memperoleh penghasilan tetap. Pemberdayaan maksimal para UMK bisa mempekerjakan dan menekan jumlah pengangguran yang telah mencapai 9,1 juta orang (BPS, Agustus 2021)
2) Pada Instruksi Pertama nomor 3 disebutkan: Merencanakan, mengalokasikan, dan merealisasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) nilai anggaran belanja barang/jasa untuk menggunakan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dari hasil produksi dalam negeri.
Pembahasan:Pada tahun 2021, dari Rp. 1.141,8 T Pagu Belanja barang/jasa Nasional (Data SiRUP), hanya Rp. 349,6 T (30,6%) yang diperuntukkan bagi UMK dan Usaha Menengah (LKPP, Flip 2021). Oleh karena keterbatasan Data yang tidak memisahkan berapa jumlah UMK dan berapa jumlah Usaha menengah maka kami menduga untuk UMK peruntukannya direncanakan jauh dibawah 30,6 %.
Pembahasan:Pada faktanya, UMK dalam mengikuti tender khususnya untuk pekerjaan konstruksi selalu dihadapkan pada persyaratan diluar Sertifikasi Standar. Adapun Alasan penambahan tersebut adalah dalam rangka penjaminan Kualitas Output. Sebagai Informasi, UMK dalam mendapatkan Sertifikat Standar (SBU) saja sudah menjalani banyak tahapan di 7 Organisasi yaitu Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), Online Single Submission (OSS), Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), Lisensi Lembaga Sertifikasi Badan Usaha (LSBU), Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), Asosiasi Profesi Pekerja Konstruksi dan Asosiasi Perusahaan Konstruksi. Secara formal mestinya syarat- syarat tambahan tersebut tidak diperlukan lagi karena menurut Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PP 05/21)dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 06 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PMPUPR 06/21) mestinya sudah cukup menjamin Kualifikasi UMK dalam bekerja.
Uniknya Penambahan syarat-syarat ini berbanding terbalik apabila dikerjakan secara swakelola, contohnya dalam pekerjaan Penambahan Ruang Kelas Baru dimana apabila dilakukan melalui penyedia maka persyaratan SBU, Peralatan, Tenaga Terampil, Dukungan Supplier/Vendor Alat dan Material, Saldo Bank dan Jaminan Penawaran, jika menang harus memberikan Jaminan Pelaksanaan/Uang Muka/Pembayaran dan dibebani tanggungjawab Struktur sampai 10 tahun dan pastinya para Penyedia harus fight banting-bantingan Harga. Coba kita lihat dan bandingkan persyaratan jika dikerjakan secara Swakelola, praktis tidak ada, negosiasi hargapun dirasa tidak transparan dan seakan-akan tidak tunduk pada Undang-undang Jasa Konstruksi. Tidak ada jaminan bahwa Output yang dipekerjakan ASN/Organisasi Masyarakat (Ormas)/Kelompok Masyarakat (Pokmas) akan lebih baik ketimbang dikerjakan Penyedia yang telah diregisterasi/verifikasi/validasi/sertifikasi oleh 7 organisasi Pemerintah, swasta dan Ormas.
4) Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (5) Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk: (a). meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dan/atau produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi termasuk belanja yang dialokasikan melalui transfer daerah.
Pembahasan:Dana Alokasi Khusus (DAK) pekerjaan konstruksi pada sekolah faktanya banyak yang tidak menggunakan produk UMK. Adanya pilihan DAK bisa diadakan secara Swakelola menjadi favorit choice meskipun tidak memiliki persyaratan kualifikasi dalam mengerjakan kegiatan beresiko Menengah Tinggi (kajiannya bisa dibaca pada artikel Pekerjaan Konstruksi tidak boleh dilakukansecara Swakelola). Para ASN/Ormas/Pokmas sama sekali tidak perlu melewati 7 organisasi yang membina Penyedia dalam menjamin Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi.
Pembahasan:
Prosedur pengurusan SBU untuk UMK saat ini melibatkan 1 Kementrian teknis (KemenPUPR), 2 Lembaga Negara (LPJK & OSS), 2 Badan Usaha Swasta (LSBU & LSP) dan 2 Ormas (Asosiasi Kontraktor & Asosiasi Profesi), ini justru berbeda dan jauh dari kemudahan mengingat dahulu sebelum ada UU 11/20 hanya melibatkan 3 Ormas saja yaitu LPJKN/D, Asosiasi Kontraktor & Asosiasi Profesi. Kami menghimbau agar Kemudahan perizinan SBU difasilitasi dan diberikan keringan pembiayaan, tidak adil UMK harus menghidupi Lembaga Negara melalui skema Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pajak lainnya, menghidupi swasta melalui skema lisensi dan menghidupi Ormas melalui skema Kartu Tanda Anggota (KTA).Dalam hal pengurusan Sertifikat Standar (SBU) kami juga menemukan adanya persyaratan OSS yang mewajibkan UMK memiliki Sertifikat ISO Manajemen Mutu dan Anti Penyuapan, meskipun saat ini diberi keringanan karena bagi yang belum memiliki sertifikat tersebut dapat menggantikannya dengan surat pernyataan yang sudah harus dipenuhi pada saat berkontrak maupun setahun kemudian. Persyaratan ini jelas melanggar PP 05/21 dimana disebutkan bahwa perizinan sub sektor jasa konstruksi yang tergolong kategori Risiko Menengah Tinggi hanya berupa Nomor Induk Berusaha dan Sertifikat Standar. Menurut PM 06/21 bahwa yang dimaksud dengan sertifikat standar adalah SBU. Disisi lain, jumlah karyawan UMK yang tidak lebih dari 10 (sepuluh) menandakan managemen dalam UMK tergolong sederhana dan bisa dijadikan pertimbangan kemudahan berusaha.
6) Pada Instruksi Kedua, Khusus kepada (17) Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk: (c). melakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan dan sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam rangka percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi untuk menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pembahasan:
Terkait PLKPP 03/21, diharapkan Swakelola diperketat hanya untuk pekerjaan yang tidak bisa diadakan/diminati Penyedia saja. Sebagai data pendukung, untuk tahun ini saja (2022) kami melihat terdapat total 3,19 juta paket yang direncanakan diadakan secara swakelola dan melalui penyedia, apabila 3 juta paket saja diserahkan ke UMK sebanyak 373.778 (Profile Pengadaan 2019) maka masing-masing Penyedia bisa mendapat 8 Paket (asumsi seluruh penyedia yang terdaftar di LPSE adalah UMK meskipun pada kenyataannya ini adalah total Penyedia dan hanya 134.564 yang menang dari 195.264 penyedia yang aktif lelang), kalo sudah begini kami rasa tidak perlu dilakukan Tender toh masing- masing Penyedia UMK dapat paket melebih Sisa Kemampuan Paket-nya, sesekali Pemerintah berbagi Proyek ke UMK ditengah Pandemi mengingat Swakelola bisa juga dilakukan tanpa harus tender, cukup Negosiasi Harga saja. Kami menyarankan pemilihan penyedianya dengan melibatkan organisasi pembinaan (K/L/PD) yang serta diawasi secara transparan oleh masyarakat.
7) Pada Instruksi Ketiga menyebutkan: Pendanaan untuk percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembahasan:Ketentuan Pemberian Uang Muka (UM) sudah diatur pada Peraturan pemerintah nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (PP 07/21) namun pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 16/18') ketentuannya masih belum dirubah karena masih memuat kata "dapat" sehingga bukanlah suatu keharusan. Sebagai catatan, ketentuan UM ini sebenarnya sudah disebutkan pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, namun karena adanya kalimat "dapat" membuat K/L/PD beramai-ramai memilih tidak mau memberikannya, lebih uniknya lagi justru kelas Usaha Besar termasuk BUMN yang justru diberikan Uang Muka. Mohon K/L/PD merealisasikan pendanaan APBN/APBD untuk UMK sebagai mana yang diatur oleh PP 07/21.
- Baru dapat klarifikasi resmi dari Lembaga Negara bahwa Data yang ada di https://monev.lkpp.go.id/ tidak dapat dipertanggungjawabkan (bisa benar bisa salah), harap publik bijak mempercayai data yang dikeluarkan Lembaga Publik (08/04/22) .
- Swakelola sudah dievaluasi di Uni Eropa, salah satunya bisa dibaca pada artikel berikut In-HOUSE PROCUREMENT exception: threat for sustainable procedure of Public procurement?