I. PENDAHULUAN
Anggaran Pendapatan & Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan & Belanja Daerah (APBD) merupakan perwujudan dari pengelolaan keuangan Negara/Daerah secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan (PUU), efisien, ekonomis, efektif, transparan & bertanggungjawab. Secara garis besar, Anggaran memiliki komponen Pendapatan & Hibah, Belanja Negara, & Pembiayaan.
Belanja barang adalah pembelian barang & jasa (barjas) yang habis pakai untuk memproduksi barjas yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat & belanja perjalanan. Belanja barang ini terdiri dari belanja pengadaan barjas, belanja pemeliharaan, & belanja perjalanan. Belanja pengadaan barjas merupakan pengeluaran yang antara lain Alat Tulis Kantor, biaya pelatihan & penelitian. Belanja pemeliharaan adalah pengeluaran yang dimaksudkan untuk mempertahankan aset tetap atau aset lainnya yang sudah ada ke dalam kondisi normal tanpa memperhatikan besar kecilnya jumlah belanja seperti pemeliharaan gedung & bangunan kantor. Belanja perjalanan merupakan pengeluaran yang dilakukan untuk membiayai perjalanan dinas dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi & jabatan Belanja modal adalah pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap & aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah seperti Belanja modal tanah, peralatan & mesin, gedung & bangunan.
Pengadaan Barjas Pemerintah yang selanjutnya disebut Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah (K/L/PD) yang dibiayai oleh APBN/APBD yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil pekerjaan yang terdiri dari Belanja Barjas serta Belanja Modal pada APBN/APBD. Kebijakan Publik Pengadaan di Indonesia saat ini diatur Perpres No. 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 16/18'). Pengadaan Barang/Jasa dalam Perpres ini meliputi: Barang; Pekerjaan Konstruksi; Jasa Konsultansi; & Jasa Lainnya. Selain tunduk pada PS 16/18', PBJ di Indonesia juga tunduk pada beberapa PUU lain yang diistilahkan sebagai Pengadaan yang dikecualikan misalnya pengadaan alat peralatan pertahanan & keamanan yang tunduk pada UU no. 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. PBJ sendiri dilaksanakan dengan 2 cara yaitu Swakelola; dan/atau Penyedia. Swakelola adalah cara memperoleh barjas yang dikerjakan sendiri oleh K/L/PD, K/L/PD lain, organisasi masyarakat (ormas), atau kelompok masyarakat (pokmas) sedangkan Penyedia adalah badan usaha atau perseorangan yang rnelakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu yang menyediakan barjas berdasarkan kontrak.
Di level Internasional terdapat 2 Pedoman Pengadaan yaitu World Trade Organization (WTO) dengan Agreement on Government Procurement (GPA 2012) & United Nations (UN) dengan UNCITRAL Model Law on Public Procurement of Goods, Construction and Services (2011). Meskipun begitu, kebijakan PBJ Indonesia sampai saat ini belum menyepakati satupun pedoman itu sehingga bebas membuat standar sisitim PBJ tersendiri. Sebagai informasi tambahan, dikawasan Asia Tenggara tercatat hanya Negara Singapura yang telah menandatangani GPA 2012.
Berdasarkan Laporan Kinerja Pelaksanaan Pengadaan Barjas K/L/PD tahun 2022 (LKPPBJ 2022), total Rencana Umum Pengadaan (RUP) Belanja Barang/Jasa Pemerintah tahun 2022 sebesar 1.039,74 Triliun rupiah (T), namun yang diumumkan di Sistim RUP (SiRUP) hanya sebesar 971,60 T. Berdasarkan data Kementrian Koperasi & UKM tahun 2018 terdapat Usaha Mikro & Kecil (UMK) sebanyak 64.283.132 Unit, namun sangat disayangkan hanya 0,27 % ikut berpartisipasi pada pasar PBJ dengan cara mendaftar di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Dari Total RUP barjas tersebut, 415,00 T (39,91%) direncanakan dikerjakan melalui swakelola murni tanpa penyedia & 556,6 T (53,53%) direncanakan dikerjakan melalui Penyedia & sisanya 68,14 T (6,56%) tanpa keterangan.
II. ANALISA
Indonesia resmi memperkenalkan Swakelola sebagai Metode/Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemborongan & Jasa lainnya melalui Kerpres No. 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah & masih tetap dipakai hingga saat ini, di Eropen Union (EU), Swakelola (In-House) pertamasekali diperkenalkan pada kebijakan Directive 2004/18/EC, namun aturan ini telah dicabut oleh Directive 2014/24/EU & dinyatakan sebagai pengadaan pengecualian yang dilaksanakan secara sangat ketat.
PBJ di Indonesia yang tunduk kepada PS 16/18' dilaksanakan sesuai prinsip Efisien; Efektif; Transparan; Terbuka; Bersaing; Adil; & Akuntabel. PBJ menurut GPA 2012 hanya berdasarkan prinsip Non-discrimination, Transparency and Procedural fairness. PBJ menurut Model Law (2011) mengacu kepada prinsip Objectivity, Fairness, Participation, Competition, and Integrity. Terkait Swakelola, baik GPA 2012 maupun Model Law (2011) tidak menyarankan dilakukan pada PBJ yang nilainya berada diatas Nilai Ambang Batas namun untuk yang nilainya dibawah ambang batas maka kebijakannya diserahkan kepada negara masing-masing. Sebagai perbandingan, kami mengacu ke Jerman mengingat 90% dari total jumlah PBJ-nya (75% dari total nilai pagu) berada di bawah ambang batas UE(2018), disamping itu Negara ini juga terkenal memiliki sistem pengadaan yang cepat, fleksibel, efisien, & rendah birokrasi. PBJ yang dibawah Ambang batas EU harus mematuhi kebijakan Unterschwellenvergabeordnung (UVgO) Edisi 2017. Prinsip mereka adalah Transparansi, Persaingan, Non diskriminasi, Perlakuan yang sama, Kepentingan untuk usaha kecil & menengah, Keberlanjutan & e-Procurement. Swakelola di Jerman adalah prosedur yang dikecualikan & pengawasannya sangat ketat yang tidak boleh melanggar prinsip Kepentingan untuk Usaha Kecil & Menengah, meskipun tidak ada larangan namun pada prakteknya Swakelola hampir mustahil ditemukan.
Tata cara swakelola di Indonesia diatur Peraturan LKPP No. 3 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola (PLKPP 03/21). Swakelola dilaksanakan manakala barjas yang dibutuhkan tidak dapat disediakan atau tidak diminati oleh pelaku usaha atau lebih efektif dan/atau efisien dilakukan oleh Pelaksana Swakelola. Swakelola dapat juga digunakan dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya/kemampuan teknis yang dimiliki pemerintah, barjas yang bersifat rahasia & mampu dilaksanakan oleh K/L/PD yang bersangkutan, serta dalam rangka peningkatan peran serta/pemberdayaan Ormas & Pokmas. Swakelola dilaksanakan oleh Penyelenggara Swakelola yang terdiri dari: Tim Persiapan,Tim Pelaksana, & Tim Pengawas. Untuk Jenis Tipe Swakelola & penetapan Penyelenggaranya sendiri adalah sebagai berikut:
tipe I yaitu Swakelola yang direncanakan, dilaksanakan, & diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran; Penyelenggara Swakelola ditetapkan oleh PA/KPA
tipe II yaitu Swakelola yang direncanakan, & diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran & dilaksanakan oleh K/L/PD lain pelaksana Swakelola; Tim Persiapan & Pengawas ditetapkan oleh PA/KPA, & Tim Pelaksana ditetapkan oleh K/L/PD pelaksana Swakelola. Tim Pelaksana pada K/L/PD pelaksana Swakelola dapat ditetapkan oleh Pejabat sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
tipe III yaitu Swakelola yang direncanakan & diawasi oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran & dilaksanakan oleh Ormas pelaksana Swakelola; Tim Persiapan & Tim Pengawas ditetapkan oleh PA/KPA, & Tim Pelaksana ditetapkan oleh pimpinan calon pelaksana Swakelola.
tipe IV yaitu Swakelola yang direncanakan oleh K/L/PD penanggung jawab anggaran dan/atau berdasarkan usulan Pokmas, & dilaksanakan serta diawasi oleh Pokmas pelaksana Swakelola. Tim Persiapan, Tim Pelaksana, & Tim Pengawas ditetapkan oleh pimpinan Pokmas pelaksana Swakelola.
Dalam menganalisa Implementasi Kebijakan terkait Swakelola maka kami mencoba mengukur apakah ketujuh prinsip PBJ yang diatur di PS 16/18' tidak dilanggar, sebagai pembanding hasil pengukuran maka dibagian akhir kami juga akan menampilkan hasil penelitian yang mendukung kajian kami ini. Berikut adalah pengukuran beserta pembahasan kepatuhan Swakelola terhadap tujuh prinsip PBJ di Indonesia, sebagai catatan mengingat pada PS 16/18' tidak memiliki bagian penjelasan maka Definisi setiap prinsip diambil dari Perpres no. 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang meskipun telah dicabut namun masih dianggap valid karena ketentuan tentang prinsip PBJ tidak mengalami perubahan.
Prinsip Efisien yaitu Harus diusahakan dengan menggunakan dana & daya yang minimum untuk mencapai kualitas & sasaran dalam waktu yang ditetapkan atau menggunakan dana yang telah ditetapkan untuk mencapai hasil & sasaran dengan kualitas yang maksimum.
Pembahasan: Berdasarkan ketentuan Kontrak swakelola pada PLKPP 03/21, ternyata untuk Type I tidak ada Negosiasi harga & untuk Type II sampai IV dilakuan Negosiasi Harga antara PPK & Tim Pelaksana. Prosedur Negosiasi yang dilakukan keduanya akan kental bernuansa Korupsi Kolusi Nepotisme karena prosesnya diadakan tertutup, seleksi TIM Pelaksananya tidak transparan & para pihak berada pada kendali satu Pimpinan/berafiliasi. Kehadiran Ormas/Pokmas juga disinyalir atas dasar pertemanan & hubungan tidak profesional yang cenderung terjadi barter kepentingan. Hal ini sangat berbeda apabila pengaadaan tersebut dilakukan melalui penyedia yang melakukan penawaran harga yang sangat kompetitif & transparan secara elektronik.
Prinsip Efektif yaitu Harus sesuai dengan kebutuhan & sasaran yang telah ditetapkan serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.
Pembahasan: Pelaksanaan & Pengawas berada pada kendali satu Pimpinan/berafiliasi yang berpotensi capaian sasaran kualitas barjas tidak sesuai harapan, hal ini disinyalir menjadi transaksional yang saling menguntungkan akibat tidak efektifnya pengawasan. Berbeda jika dilakukan melalui penyedia karena pengawasannya dilakukan oleh penyedia yang berbeda.
Prinsip Transparan yaitu Semua ketentuan & informasi mengenai Pengadaan Barang/Jasa bersifat jelas & dapat diketahui secara luas oleh Penyedia Barjas yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya.
Pembahasan:
1). Pada deskripsi transparan jelas menyebutkan kata Penyedia, jadi sedari awal memang PBJ diperuntukkan hanya untuk Penyedia. Swakelola bisa saja menggunakan jasa penyedia namun pelaksanaan PBJ-nya sudah mengacu ke Peraturan LKPP no. 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia. Sebagai masyarakat, ketersediaan Informasi tentang Swakelola ini sangat minim, dengan mengambil informasi swakelola (gambar 1), terlihat tidak ada informasi Spesifikasi, Kualitas & Kuantitas barjas yang diadakan, tidak pula tercantum siapa Penyelenggara swakelolanya & berapa efisiensi harga yang ditawarkannya terhadap Nilai Pagu.
2) Pada tahun anggaran 2020, dari realisasi Belanja Barjas sebesar 390,08 T, terdapat 328,8 T diadakan melalui Penyedia & sisanya 61,70 T dilakukan secara Swakelola & hanya 4 T yang dilaporkan di LPSE sedangkan sisanya 57,70 T tidak jelas Informasinya, ini terjadi karena Pimpinan K/L/PD tidak mencatatkan realisasi belanja Swakelolanya di LPSE. Meskipun dalam hal ini LKPP hanya mensyaratkan cukup pencatatan saja namun tetap Pengguna Anggaran bertindak tidak Transparan.
Untuk Prinsip Terbuka, Bersaing & Adil tidak dapat diukur mengingat 3 prinsip ini sudah pasti tidak terpenuhi karena tidak melibatkan Penyedia.
Akuntabel yaitu Harus sesuai dengan aturan & ketentuan yang terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Pembahasan:
Pekerjaan Konstruksi yang dikerjakan secara swakelola bertentangan dengan UU no. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 52 tentang perubahan UU no. 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi jo. PP no. 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko jo. Peraturan Menteri PUPR no. 06 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha & Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor PUPR. Seharusnya pekerjaan Konstruksi dikerjakan oleh Badan Usaha yang memiliki Sertifikat Badan Usaha Konstruksi (SBU) karena Jasa Konstruksi merupakan pekerjaan beresiko Menengah Tinggi, & untuk memeperoleh SBU, Menteri mewajibkan pelaksananya memiliki Nomor Induk Berusaha & Sertifikat Keterampilan Kerja Konstruksi (SKK). Penyelenggara Swakelola jelas tidak bisa memenuhi perizinan seperti ini & tindakannya yang mengerjakan pekerjaan konstruksi jelas tidak akuntabel.
Pemberdayaan UMK pada pasar PBJ belum maksimal sebagaimana yang diperintahkan UU no. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 85 tentang perubahan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, & Menengah jo. PP no. 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, & Pemberdayaan Koperasi & Usaha Mikro, Kecil, & Menengah jo. Instruksi Presiden no. 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri & Produk Usaha Mikro Kecil & Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Paket-paket pekerjaan Swakelola rata-rata adalah lahan yang dapat disediakan & sangat diminati UMK. Belanja Negara semestinya berfungsi sebagai perangsang pasar dari produk UMK sehingga Pemberdayaannya semaksimal mungkin. Dengan memberdayakan Aparat Sipil Negara (ASN)/Ormas/Pokmas melalui Swakelola maka secara otomatis akan mengucilkan partisipasi UMK pada penggunaan Dana Publik & Pelaksanaan PBJ menjadi tidak akuntabel terhadap PUU diatas. Untuk tahun 2022 saja Pemerintah mengalokasikan 415,00 T untuk Swakelola sedangkan UMK hanya 265,19 T. Ratio Swakelola yang 1,65 kali lebih besar dari UMK, ini menandakan bahwa yang diberdayakan PBJ kita sebenarnya lebih memberdayakan ASN/ormas/pokmas, padahal PUU memerintahkan yang diberdayakan semaksimal mungkin harusnya adalah UMK.
Dari hasil pengukuran kepatuhan prinsip diatas jelas bahwa Swakelola melanggar prinsip PBJ di Indonesia, ini sesuai dengan hasil penelitian Virginijus Kanapinskas dkk pada artikelnya berjudul In-House Procurement exception: threat for sustainable procedure of Public procurement? Negara Lituania sebagai anggota EU maka sistim PBJ-nya terikat pada Directive 2014/24/EU. Statemen mereka menunjukkan bagaimana Swakelola harusnya dijadikan pengecualian dari sistim PBJ, diawasi secara ketat karena dampaknya terhadap moral hazard & tidak ekonomis. Mereka menekankan bahwa setiap Penerapan "pengecualian" pada pengadaan publik patut dipertanyakan karena setiap penyimpangan dari aturan umum sering menciptakan prasyarat untuk pelanggaran prinsip pengadaan seperti transparansi, akuntabilitas, keterbukaan, & kesetaraan hak pemasok. Hal tersebut juga berlaku untuk pengecualian Swakelola karena penggunaannya dapat menimbulkan korupsi, pembelian yang tidak transparan, serta mengancam efisiensi pengadaan & persaingan yang sehat. Swakelola pada dasarnya menghilangkan persaingan yang merupakan sifat dasar dari UU pengadaan publik EU. Kebutuhan & manfaat persaingan untuk pengadaan publik tidak diragukan lagi karena hanya persaingan yang memungkinkan pemasok untuk meniru kekuatan satu sama lain & untuk memperebutkan pasar, yang berarti harga barjas yang lebih rendah & kualitas yang lebih tinggi. Pada dasarnya, hanya persaingan dalam pengadaan publik yang dapat memastikan penggunaan dana publik secara efektif.
III. KESIMPULAN & SARAN
III.1. Kesimpulan.
Keberadaan Swakelola pada PBJ sejak awal telah melanggar prinsip Transparan, Terbuka, Bersaing & Adil karena memang prinsip-prinsip ini didesain hanya untuk PBJ melalui Penyedia. Meskipun tetap dipaksakan, pada pelaksanaannya juga masih melanggar prinsip Efisien, Efektif & Akuntabel sehingga pada akhirnya Swakelola telah melanggar keseluruhan prinsip PBJ.
Pembiaran Swakelola tanpa pengawasan yang ketat akan membuat Pengguna Anggaran semakin leluasa menghindari Penyedia karena sesungguhnya prinsip tersebut mengekang Pengguna Anggaran dalam "mengendalikan Anggaran" secara makna sempit, dengan memilih Swakelola mereka terbebas dari kewajiban malah dapat dilegalkan melanggar implementasi prinsip PBJ bahkan tanpa mempertimbangkan azas efisiensi penggunanaan Dana Publik.
Sistim Belanja Negara yang seharusnya diharapakan sebagai tools pemerataan kesejahteraan ekonomi rasanya tidak berlaku dikalangan UMK. Keberadaan Swakelola dipasar PBJ justru menjadi saingan yang tak seimbang bagi mereka, meskipun para Pengguna Anggaran selalu berdalih tidak seperti itu namun dengan kewenangan & fasilitas yang diberikan negara terbukti telah berhasil menyingkirkan produk UMK, tercatat Partisipasi para UMK terhadap Pasar PBJ sangatlah rendah yaitu hanya 0,27%. Pemerintah seharusnya mengedepankan Pembinaan terhadap Penyedia agar berminat & tertarik bukan sebaliknya malah menjadi saingan dalam memenuhi PBJ sehingga para penyedia tidak berminat memasuki pasar PBJ.
III.2. Saran.
Untuk Jangka Pendek :
Swakelola di Indonesia sudah seharusnya digolongkan Pengadaan yang dikecualikan & Pelaksanaanya harus diawasi secara ketat & transparan karena dapat mempengaruhi pertumbuhan Ekonomi pelaku usaha khususnya UMK. Pengawasnya juga harus dari unsur pelaku Usaha guna menghindari konflik kepentingan apabila dilakukan sesama unsur pemerintah.
Untuk Jangka Menengah:
Kualitas Penyedia sering menjadi alasan untuk meninggalkan penyedia & memilih swakelola, menjadi pertanyaan besar bagaimana mengukur kualitas yang dimaksud mengingat PBJ kita pada kenyataanya tidak menjalankan prinsip persaingan yang sehat, diluar itu bukankan ini menandakan kegagalan Pemerintah dalam melakukan Pembinaan yang terhadap pelaku usaha khususnya UMK. Sebaiknya Pengguna Anggaran jangan terburu-buru memilih swakelola namun mengedepankan Pemberdayaan Penyedia bila perlu diadakan pembinaan simultan dari Kementrian Koperasi & UMK, Kementrian Perdagangan, Kementrian Perindustrian, LKPP & Pemerintahan Daerah. Diberdayakan pula peran serta Asosiasi dalam pembinaan anggotanya. Diterapkan Punishment and Reward Management sehingga progress pembinaan memiliki target & batasan, kalo tidak bisa dibina ya sebaiknya dibinasakan.
Untuk Jangka Panjang:
PBJ Indonesia sebaiknya mengikuti GPA 2012 ataupun Model law (2011) & merubah PLKPP 03/21. Penelitian Virginijus Kanapinskas dkk pada tahun 2014 telah berhasil merubah UU Pengadaan Lituania pada tahun 2018 dengan memasukan Swakelola sebagai PBJ yang dikecualikan serta pelaksanaannya diawasi secara ketat. Kajian kami pada tulisan ini seharusnya dapat dijadikan sebagai Research Base untuk merubah kebijakan sistim PBJ di Indonesia menjadi setara negara maju.
IV. REFERENSI
Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Undang-Undang nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Undang-Undang nomor 01 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Peraturan Pemerintah nomor 17 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, & Pemberdayaan Koperasi & Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Peraturan Pemerintah nomor 05 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko
Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro Kecil dan Koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Penjelasan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Menteri PUPR nomor 06 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha & Produk pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha berbasis Risiko sektor PUPR.
Peraturan LKPP Nomor 03 Tahun 2021 Tentang Pedoman Swakelola.
Laporan Kinerja Pelaksanaan Pengadaan Barjas K/L/PD tahun 2020 yang dirilis tanggal 28 Desember 2020.
Laporan Kinerja Pelaksanaan Pengadaan Barjas K/L/PD tahun 2022 yang dirilis tanggal 11 April 2022.
UNCITRAL Model Law on Public Procurement of Goods, Construction and Services (2011).
WTO Agreement on Government Procurement (GPA 2012).
DIRECTIVE 2014/24/EU OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL of 26 February 2014 on public procurement and repealing Directive 2004/18/EC.
Federal ministry for business and energy, the rules of procedure for the award public supply and service contracts below the EU thresholds (Unterschwellenvergabeordnung - UVgO) – Edition 2017 –.
Silalahi, B., Rustam, R., Siagian, V., (2021). Analisis Implementasi Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa untuk Meningkatkan Value for Money. Elsevier. https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3988798&fbclid=IwAR306AjLhVBER32QvsFeEfnrnAQ0RV5hjcq8Nhgt9_qjJVhxnBqFyUcV_RQ (diakses tanggal 27 Januari 2022).
Ionel PREDA.,(2019). Comparative Analysis of the Characteristics of Public Procurement Systems in Germany, France and Romania. Review of International Comparative Management Volume 20.
Virginijus Kanapinskas, Žydrūnas Plytnikas, Agnė tvaronavičienė., (2014). in-House Procurement exception: threat for Sustainable Procedure of Public Procurement? journal of Security and Sustainability Issues ISSN 2029-7017/ISSN 2029-7025 online 2014 Volume 4(2): 147–158 http://dx.doi.org/10.9770/jssi.2014.4.2(4)
Artikel Paper ini dibuat dalam rangka tugas mata kuliah Regulasi dan Politik Ekonomi padaProgram Doktor Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi dan Bisnis pada salah satu Universitas di Jakarta , mohon bijak apabila hendak mengutip seluruh atau sebagian dari isinya.