Layanan Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Dokumen Tender & Peraturan Direksi terkait Pengadaan). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

CARI DI BLOG INI

08 Agustus 2020

LEGALISASI KUNCIAN pada SYARAT Pemilihan Penyedia Konstruksi.

  

    Dulu, tepatnya sebelum tanggal 18 Mei 2020, implementasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 07/PRT/M/2019 (PM07/19) tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia banyak mendapat sorotan publik, pasalnya banyak para Non Penyedia terutama Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kelompok Kerja (POKJA) membuat syarat tambahan pada proses Pemilihan Penyedia pada tender Konstruksi. Salahkah? jawabannya tentu tidak, secara tertulis baik pada Pokok maupun Lampiran-nya, PM07/19 sama sekali tidak memuat adanya sebuah larangan tertulis. Sederhananya…yang dilarang saja sering tak dipatuhi apalagi sesuatu yang gak dilarang.
    Sebagai catatan, satu-satunya larangan penambahan syarat pemilihan hanya ada di Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018  tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS16/18), terdapat pada pasal 44 yang berbunyi “Pokja Pemilihan dilarang menambah persyaratan kualifikasi yang diskriminatif dan tidak objektif”,  sayangnya itu hanya mengatur larangan penambahan persyaratan Kualifikasi Perusahaan, tidak berlaku untuk penambahan persyaratan Kualifikasi Pekerjaan (Administrasi, Teknis, Harga ataupun Kualifikasi Keuangan). Akibatnya apa yang selanjutnya akan terjadi pada Persyaratan Tender bisa ditebak yaitu maraknya penambahan syarat-syarat.  Mari kita kupas tuntas lebih lengkap….jadi maaf agak panjang he3x.
    Turunan dari PS 16/18, lahirlah Peraturan LKPP nomor 09 tahun 2018  tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Melalui Penyedia (PLKPP09/18) namun khusus untuk Pedoman Tender Konstruksi LKPP mendelegasikan kewenangannya kepada Menteri yang mengurus Konstruksi dalam hal ini adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Namun perlu dicatat, aslinya hanya terdapat 6 (enam) kewenangan yang didelegasikan yaitu kebijakan terkait  Ketentuan Persyaratan Kualifikasi Administrasi/Legalitas, Kualifikasi Kemampuan Keuangan dan Kualifikasi Teknis, Ketentuan Pelaksanaan Evaluasi Teknis, Syarat-Syarat Umum Kontrak (SSUK) dan Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK). Keenam ketentuan tersebut telah dituangkan kedalam PM 07/19 namun pada kenyataanya terdapat juga hal lain yang ikut diatur diluar dari kewenangan yang didelegasikan.
    Pada kenyataannya, pada saat itu semua turunan PS 16/18 baik pada PLKPP09/18 maupun PM 07/19 sama sekali tidak menjelaskan secara rinci dan terukur/kuantitatif apa yang dimaksud dengan  “diskriminatif dan tidak objektif” pada pasal 44 tersebut diatas. Peraturan Perundang-undangan (PPU) yang ada hanya menyajikan ukuran bersifat kualitatif, bahkan banyak Non Penyedia yang berprinsip sepanjang tidak ada yang protes saat Acara Penjelasan maka ukuran “diskriminatif dan tidak objektif” sudah terpenuhi, meskipun kalo ada yang protes belum tentu juga diindahkan he3x. Untuk larangan penambahan syarat Kualifikasi saja ketentuannya masih abu-abu, gimana lagi untuk tambahan syarat Administrasi, Teknis dan Harga yang notabene sama sekali tidak ada larangannya, pastinya lebih menggila lagilah ya…. Sepanjang pengamatan penulis baik sebagai Penyedia maupun Pengamat Kebijakan Publik, sampai detik ini (meskipun PM07/19 sudah dicabut) terdapat sangat banyak syarat tambahan yang detailnya bisa dilihat pada artikel Jurus/kuncian maut pertarungan Tender.
    Beberapa contoh pada artikel Jurus/kuncian maut pertarungan Tender tersebut hanya baru merupakan penambahan syarat atas Regulasi PM07/19, kenyataannya bukan hanya syarat saja yang memungkinkan untuk ditambah/diubah, Regulasi PBJ juga bisa dirubah/tambah, dasar hukum PBJ yang awalnya hanya diatur oleh Peraturan Presiden menjadi celah tersendiri bagi Pemerintahan Daerah (Perda) untuk membuat Pedoman PBJ lokal yang isinya bahkan bisa tidak mengacu aturan yang sudah ada, menambah ketentuan yang belum diatur di PerPUU, tercatat banyak Daerah yang membuat Perda terkait PBJ-nya sendiri yang merupakan modifikasi PLKPP09/18 dan PM07/19. Kebanyakan Perda tersebut berbau kedaerahan yang efektif menyulitkan Penyedia Nasional.
    Lantas bagaimana dengan kondisi saat ini khususnya PBJ Konstruksi terkait Pasca terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Undang-Undang  nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa konstruksi (PP22/20) serta Peraturan Menteri PUPR nomor 14 tahun 2020 (PM14/20) tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia?....sangat disayangkan, tidak seperti PS 16/18, PP yang baru ini sama sekali tidak mengatur adanya larangan-larangan pengubahan persyaratan, lebih unik lagi PM 14/20 justru melegalkan penambahan persayaratan tersebut bahkan bukan hanya sebatas persyaratan kualifikasi namun untuk semua persyaratan pemilihan. Menurut saya seharusnya di-level PM14/20 sudah harus jelas The DO & The DON'T nya sehingga tidak membingungkan para pelaku PBJ. Sebagai contoh kita bisa membandingkannya dengan Peraturan Pemerintah nomor 80 tahun 2012 tentang  tata cara pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan dan penindakan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan, bayangkan..sebagai Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, cukup dilevel PP saja aturan ketentuannya sudah cukup jelas dan terukur.  Bandingkan dengan PM14/20, sudah sampai level pelaksanaan dari PP/PS-pun masih terlalu banyak hal multi tafsir-nya yang membingungkan  Penyedia dan POKJA. 
Bagaimana prosedur legalisasi penambahan syarat yang saya maksud bisa kita baca pada Pasal 58 PM14/20 sebagai berikut:

  1. Dalam hal diperlukan, persyaratan kualifikasi Penyedia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55 dan persyaratan teknis penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 57 dapat dilakukan penambahan persyaratan.
  2. Penambahan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada setiap paket pekerjaan. 
  3. Penambahan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan syarat: 
    • a) Mendapatkan persetujuan dari Pejabat Pimpinan Tinggi Madya pada kementerian/lembaga untuk pekerjaan dengan pembiayaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara; atau
    • b) Mendapatkan persetujuan dari Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama pada pemerintah daerah yang membidangi Jasa Konstruksi dan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama pada pemerintah daerah yang merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk pekerjaan dengan pembiayaan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
    • c) Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
       Kita harus akui adanya ketentuan pada ayat 3 diatas bisa saja membuat ”penambahan persyaratan menjadi sesuatu yang rada sulit” namun faktanya dilapangan yang terjadi itu justru tebalik. Penulis mencatat tender berjalan saat ini saja sudah banyak yang melakukan penambahan syarat tender sesuai panduan tata cara legalisasi pada aturan diatas. Pertanyaan besarnya mengapa justru semakin memudahkan? mari kita coba ulas satu persatu apakah ayat 3 tersebut efektif menghalangi Oknum penambah syarat atau tidak. Menurut saya syarat Huruf a) dan b) pada ayat tersebut secara prinsip adalah sama dan sangat gampang untuk mendapatkannya malah boleh dikatakan hal itu adalah sesutu yang diharapkan/ditunggu para Pengguna Anggaran. Berdasarkan UU no. 5/2014 tentang Aparatur Sipil NegaraPejabat Pimpinan Tinggi adalah Pegawai Aparatur Sipil Negara yang  (ASN). Yang berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat pimpinan tinggi madya adalah presiden, namun tidak untuk pejabat pimpinan tinggi pratama yang kewenangan tersebut telah didelegasikan ke Gubernur di Provinsi dan  ke Bupati/Walikota di Kabupaten/Kota. Melihat kewenangan Kepala Daerah yang sangat besar terhadap Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama yang membidangi Jasa Konstruksi maka bisa dipastikan kedudukannya berada dalam kendali Gubernur/Bupati/Walikota, Lantas bagaimana dengan kedudukan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama yang merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah atau yang lazim disebut Inspektorat? menurut saya selain kedudukannya sama dengan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama lainnya, secara fungsi-pun diatur pada PP no. 60/2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dimana disebutkan bahwa Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur/Bupati/Walikota.
        Selanjutnya, bagaimana syarat yang dimaksud huruf c), “tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, mungkin jika bicara sesuatu yang hitam dan putih sangat gampang memutuskan bertentangan atau tidak. Bagaimana jika persyaratan tersebut justru semakin mempertegas/ menguatkan/ mendetailkan/ memastikan suatu persyaratan yang sudah ada seperti menyertakan foto alat, menyertakan rekening koran tiga bulan terakhir, registrasi SBU tahun berjalan, personil tetap terdaftar di LPJK dll, apakah layak disebut melanggar? bagaimana pula jika ditambahkan syarat menyertakan dukungan material hanya dari Pabrikan saja, tidak boleh dari Agen dan Pabrikan tersebut harus memiliki sertifikat ISO 14001, telah pula diaudit tahun berjalan dan harus berdomisili di provinsi setempat? pasti ketawa memikirin-nya he3x. Apakah ini sah dan tidak melanggar ketentuan PerPUU ? yang pasti jawabannya ada di Pengadilan bukan di Berita Acara Penjelasan, bukan di Surat Edaran Menteri, bukan pula di Forum diskusi tak berkekuatan hukum seperti facebook dan whatapps, dan terpenting bukan pula apa kata Nara Sumber ataupun Trainer. Upaya akhir penyedia pada proses PBJ adalah melakukan sanggahan namun bisa saya pastikan sanggahan akan berujung ke sanggah banding yang akhirnya mampet juga di Pejabat tinggi tadi, kalo sudah begini apa masih ada gunanya tahapan sanggah? .
     Agak sedikit kontradiksi dengan ketentuan Umum pada PS 16/18, angka 35 yang berbunyi Dokumen Pemilihan adalah dokumen yang ditetapkan oleh Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan/Agen Pengadaan yang memuat informasi dan ketentuan yang harus ditaati oleh para pihak dalam pemilihan Penyedia. Kalo begini siapa yang diikuti....PS 16/18 atau PM 14/20 ? ini namanya Pejabat tinggi yang berbuat tapi Pokja yang bertanggungjawab. Brani gak Pokja melawan.....
        Kembali ke contoh-contoh penambahan persyaratan pada artikel: Jurus / kuncian maut pertarungan Tender yang merupakan bagian dari tulisan ini, pertanyaan besar berikutnya adalah apakah praktek-praktek tersebut selama ini tanpa sepengetahuan pejabat tinggi ? saya rasa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjawabnya dengan terkuaknya banyak kasus Tipikor yang polanya memiliki kesamaan yaitu Keterlibatan Pejabat Pembina dengan Pejabat Tingginya? bedanya sekarang ini perananan pejabat tinggi lebih Powerfull dalam urusan PBJ ketimbang Pejabat fungsional yang menanganinya. Arahan dari Pejabat Pembina secara langsung bisa diamankan melalui saktinya tanda tangan para pejabat tinggi pembantunya.
        Demikianlah tulisan artikel ini dan mohon dipandang sebagai sebuah kritik terhadap regulasi yang harapannya bisa saja membangun Bangsa khususnya Pengadaan Barang/Jasa-nya. Tentunya penulis juga bukanlah mahluk anti kritik karena saya menganggap perbedaan pendapat adalah sebuah kekayaan imaginasi. 


Update (08/03/2022):

  1. Saat ini PP 22/20 telah diubah oleh Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (PP 14/21). 
  2. PS 16/18 telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 12/21)
  3. Perlem 09/18 diganti oleh Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PLKPP12/21). 
  4. PM14/20 dicabut oleh PS12/21 dengan menggantinya menjadi PLKPP12/21 terkait Pedoman Pemilihan Penyedia, terkait hal lain masih berlaku. Mengapa  bisa terjadi? bisa dilihat di artikel ini : LKPP-vs-KemenPUPR (jilid II).
  5. Terkait Pedoman Pemilihan Penyedia khususnya Lampiran 5 pada PLKPP12/21, KemenPUPR mengeluarkan Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 18/SE/M/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Operasional Tertib Penyelenggaraan Persiapan Pemilihan untuk Pengadaan Jasa Konstruksi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (SEMPUPR18/21) yang berlaku dilingkungan KemenPUPR. Pada Surat Edaran ini Menteri PUPR masih mengizinkan penambahan syarat sepanjang disetujui Pejabat Pimpinan Tinggi Madya. 
  6. Kepala LKPP juga mengeluarkan Surat Edaran Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2022 tentang Penegasan Larangan Penambahan Syarat Kualifikasi Penyedia Dan Syarat Teknis Dalam Proses Pemilihan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Edaran ini menegaskan boleh menambah persyratan sepanjang diatur oleh Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau berdasarkan kajian/justifikasi pihak yang berkompeten di bidangnya. 
       
Saya menyimpulkan meskipun banyak terdapat perubahan PUU, pada intinya tetap bisa menambah persyaratan karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan "Objektif dan Tidak Diskriminatif"....ukuran dan batas lingkupnya bagaimana?


Sekian dan terimakasih.

Perhatian : 
Seluruh atau sebagian dari konten ini sangat memungkinkan menjadi bagian dari makalah, tesis atau Disertasi saya terkait Kebijakan Publik, mohon mengkomunikasikan kepada saya apabila hendak dipakai di forum resmi demi menghindari Praktek Plagiatisme. Terimakasih.