Adalah Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Aspal dan Beton Indonesia disingkat (DPP AABI) yang pertamasekali dan langsung berhasil melakukan Proses Uji Materiil pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan menteri yang baru diundangkan pada tanggal 25 Maret 2019 melalui Putusan Mahkamah Agung nomor 64 P/HUM/2019 tanggal 3 Oktober 2019 menyatakan bahwa Kebijakan Perubahan Segmentasi diatas bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan.
Meskipun pada tanggal 18 Mei 2020 Peraturan Menteri tersebut telah dicabut, namun pada faktanya telah mengurangi Pendapatan Negara dari Sektor Konstruksi. Perubahan segmentasi yang tidak memperhatikan ketentuan pada Peraturan Pemerintah no. 51 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi. Perubahan segmentasi yang saya terangkan diawal tidak sejalan dengan ketentuan besarnya pembayaran pajak penghasilan final (PPh) jasa konstruksi dari perusahaan Pemenang Tender karena Rumusan Besaran pungutan PPh tersebut mengikat kepada kulifikasi SBU, bukan kepada Nilai Paket Pekerjaan.
Adapun ilustrasi kerugian tersebut dapat saya uraikan sebagai berikut dibawah ini.
Pada paket pekerjaan dengan Nilai Kontrak diatas 2,5 Milyar sampai dengan 10 Milyar berdasarkan Undang-Undang no. 20 tahun 2008, Peraturan Pemerintah no. 51 tahun 2008 dan PermenPUPR no. 31/2015 maka seharusnya Negara memperoleh pemasukan dari PPh final konstruksi sebesar :
(3% x 2,5 M) s/d (3% x 10 M)
75 jt s/d 300 jt
Namun karena PermenPUPR no. 31/2015 diganti menjadi PermenPUPR no. 07/2019 yang mengubah segmentasi paket nilai paket pekerjaan terhadap kualifikasi SBU maka pembayaran PPh final berubah menjadi sebesar :
(2% x 2,5 M) s/d (2%x10 M)
50 jt s/d 200 jt
Dari selisih skema peneriman sebelum dan sesudah perubahan peraturan tersebut diatas terdapat Kekurangan Pendapatan Negara sebesar diatas 25 juta sampai dengan 100 juta per setiap paket kecil yg nilai kontraknya antara diatas 2,5 Milyar sampai dengan 10 Milyar.
Sebagaimana ilustrasi pada perubahan segmentasi pakaet SBU kelas Kecil, ilustrasi yang sama juga terjadi pada perubahan Segmentasi paket SBU Kualifikasi Menengah. Dengan menggunakan Metode Pendekatan ke Harga Pagu Paket dan mengambil Data dari Rencana Umum Pengadaan Nasional tahun Anggaran 2019 pada website resmi Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah ( https://sirup.lkpp.go.id/sirup/ro ), saya taksir telah terjadi Kekurangan Pendapatan Negara sebesar Rp. 621,32 Milyar atas PPh Final Jasa Konstruksi.
Demikian artikel ini saya sajikan, apakah kekurangan yang saya maksud bisa dipandang sebagai Kerugian Negara tentunya diserahkan ke Lembaga yang berwenang untuk hal tersebut. Pertanyaan terpentingnya apakah kekurangan bayar tersebut masih bisa diminta kembali kepada Badan Usaha yang tidak sengaja diuntungkan pada kesalahan peraturan perundang-undangan ini ? kita berharap pemerintah berlaku adil dan merata karena tahun-tahun sebelumnya Badan Usaha lain diperlakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang benar dan tarif yang sesuai pula.
Artikel ini tentunya adalah sebuah hasil pemikiran pribadi yang didasarkan penafsiran peraturan perundang-undangan yang ada tanpa bermaksud bertindak melawan hukum ataupun mendiskreditkan pihak-pihak tertentu. Tentunya dengan catatan akan terjadi jika Kementrian Keuangan tidak melanggar Peraturan Pemerintah no. 51 tahun 2008.
Salam Kebijakan Publik PBJ
Sumber Gambar dan Referensi: http://icconsultant.co.id/pph-pasal-4-ayat-2-pajak-atas-usaha-jasa-konstruksi/