Layanan Konsultasi.

Kami dapat memberikan JASA Nasehat Kebijakan terhadap Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan; Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi (Perencanaan - Persiapan - Pelaksanaan - Kontrak); dan Pemenangan Tender. Kami juga membantu membuat Kebijakan Perusahaan (Dokumen Tender & Peraturan Direksi terkait Pengadaan). Hubungi bonatua.766hi@gmail.com

Translate

CARI DI BLOG INI

27 Agustus 2020

VALUASI PASAR SERTIFIKAT MANAGEMENT

Gaes...melanjutkan topik BISNIS DISEPUTAR TENDER KONSTRUKSI  maka pada kesempatan kali ini coba saya jabarkan seberapa besar valuasi Pasar Sertifikasi Management.

Pasar ini banyak didominasi oleh Lembaga Sertifikasi Swasta namun ada juga BUMN serta Kementrian. Melihat permintaan yang sangat tinggi, kesempatan ini turut pula melahirkan Pasar Informal. Adapun jenis-jenis sertifikat yang ditawarkan saat ini sebagai berikut:

  1. Sertifikat Management Mutu (ISO 9001)
  2. Sertifikat Manajemen Lingkungan (ISO 14001)
  3. Sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (ISO 45001)
  4. Sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja versi Kementrian Tenaga Kerja
  5. Sertifikat Anti Suap (ISO)
  6. Sertifikat Building Information Modeling (ISO)
  7. Sertifikat Green Building
Poin 1 s/d 3 biasanya sesuai Standar Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,  dan biasanya juga dipakai untuk Tender kelas Menengah keatas. Harga di pasar Formal bervariatif tergantung posisi tawar dan besarnya Organisasi yang distandarisasi, untuk versi ISO dikenakan tarif Rp. 40 jt s/d 50 jt diawal tahun dengan masa berlaku selama 3 tahun dan masih dikenakan biaya audit surveillance tahun kedua dan ketiga sebesar 20 s/d 25 jt pertahun. Dipasar Informal biayanya bisa lebih mahal namun ekpress seharga  sekitar 50 jt s/d 60 jt dengan biaya tahunan 20 s/d 25 jt.  
Namun untuk sertifikat versi Kementrian Tenaga Kerja di Pasar Formal harganya bisa diantara  80 jt s/d 100 jt untuk masa berlaku 3 tahun tanpa ada biaya audit surveillance tahun kedua dan ketiga, di Pasar Informal sendiri harganya bisa jatuh lebih murah berkisar sampai 70 jt-an.

Jadi jika ditotal, untuk dapat mengikuti Tender Standar KemenPUPR (minimal sertifikat dari no. 1 s/d 3 diatas) saja maka Penyedia harus Investasi Kertas sebesar 120 jt s/d 150 jt ditambah 40 jt s/d 50 jt untuk masa berlaku selama 3 tahun yang jika ditotal lagi menjadi sebesar 160 jt s/d 200 jt per 3 tahun, atau jika dirata-ratakan berkisar 54 jt s/d 67 jt pertahun.

Dari tambang data yang diambil http://binakonstruksi.pu.go.id/data-bidang-konstruksi/badan-usaha-jasa-konstruksi, diperoleh angka Jumlah Badan Usaha Kualifikasi Menengah keatas sebanyak 123.403 perusahaan, jika diasumsikan semuanya mengurus keempat Sertifikat diatas maka Valuasi Pasar Bisnis ini bisa mencapai 6,6 T s/d 8,3 T pertahun. Jika dibandingkan nilai PBJ yang rata-rata 500 T pertahun maka khusus untuk Sertifikat ini saja sudah menggerus APBN rata-rata 1,5%, biaya ini pastinya sudah dimasukkan penyedia ke perhitungan pada saat memasukkan penawaran harga, btw....bukankan Sertifikat ISO juga barang Import alias licence Luar Negeri yak...brarti dana APBN pasti mengalir ke Luar Negeri? hmmmm jangan-jangan Proses tender juga harus dihitung TKDN nya nih.

Adalah saya, diisi kepala saya, tersimpan pertanyaan BESAR sejauh mana sih konstribusi Sertifikasi tersebut dibutuhkan pada saat pelaksanaan konstruksi terkait masing-masing sertifikasi berikut :

1. Sertifikat Management Mutu
  • Bukankah sudah ada Konsultan Pengawas/Manajemen Konstruksi yang dibayar juga.
  • Bukankah PPK beserta jajaran SKPD terkait, Inspektorat, APH, Wartawan, LSM turut juga mengawasi ?
  • Bukankah selalu ada Daily, Weekly dan Monthly Progress yang artinya Well Management? 
  • Bukankah selalu ada juga Uji mutu barang dan produk jadi? dan 
  • Bukankah selalu ada Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan pada saat serah terima?
2. Sertifikat Manajemen Lingkungan
  • Apa sih Limbah yang dihasilkan pada Pekerjaan konstruksi secara umumnya? apakah ada Limbah B3
  • Apa tidak cukup diatur di SOP saja yang berkordinasi dengan Dinas Lingkungan terkait?
  • Sejauh mana dampak Lingkungan dalam proyek, bukankah ini sudah diantisipasi dan menjadi tugas pengguna anggaran pada saat Perencanaan PBJ. 
3. Keselamatan dan Kesehatan Kerja 
  • Bukankah masih sering terjadi kecelakaan kerja meskipun syarat ini sejak dulu  telah ada?
  • Bukankah Para pekerja masih sangat banyak yang tidak menggunakan APD dilapangan? 
  • Bukankah sudah ada Tenaga Ahli dan Petugas K3 yang mengendalikan penerapan K3 dilapangan? 
masih tersisa pertanyan besar lainnya yang tak kalah penting untuk kita jawab yaitu:
  1. Kalolah semua sertifkat management tersebut dihilangkan dari persyaratan tender, bukankah pada saat pelaksanaan Penyedia bisa membayar konsultan yang pakar dibidang Mutu, Lingkungan dan K3?
  2. Seluruh Sertifikat tersebut berlaku untuk orang-orang dikantor Penyedia, faktanya pekerja dilapangan adalah orang yang berbeda...lantas apa syarat Sertifikat tersebut Efektif? bukankah sebaiknya mereka juga harus disertifikasi jika memang tujuan pembuatan syarat-syarat tersebut sesuai dengan sertifikasi pelaksana proyek yang diharapkan.
  3. Jika dipakai ilmu Cocokologi, malah menurut saya semua Produk ISO cocok dipakai dikonstruksi, kenapa tidak diwajibkan saja semua produk luar tersebut? 
Demikianlah artikel singkat ini, semoga pertanyaan diatas bisa dijawab para Regulator dan sebagai Penyedia, sangat besar harapan kami agar Pemerintah menerapkan Tender yang Ekonomi, Efisien dan Efektif. Mari kita wujudkan Pemilihan Penyedia yang bermartabat. Salam.

Melalui Blog ini ijinkan saya berterimakasih yang sebesar-besar kepada Bapak Ir. Mochamad Basoeki Hadimoeljono, M.Sc., Ph.D beserta jajarannya khususnya Direktorat Bina Konstruksi. Tanpa adanya data-data yang dibuka kepublik mustahil kami bisa memonitoring Para Penyedia di PBJ Konstruksi. 



Catt: Perhitungan ini adalah pendekatan praktis yang menggunakan sumber data tidak resmi. 

22 Agustus 2020

PBJ yg tidak tunduk pada PS 16/18 diubah PS 12/21


Masih banyak teman-teman Penyedia bertanya kok PBJ ini diluar ketentuan, dokumen tendernya kok beda, instansi ini kok suka-suka, nah melalui artikel ini coba saya terangkan bahwa ternyata Tidak semua PBJ tunduk pada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (disingkat: PS 16/18) termasuk turunannya. Hal ini menurut saya sudah sangat jelas dikatakan didalam Peraturan Presiden itu sendiri lhoooo. 


Secara umum diterangkan bahwa Ruang lingkup pemberlakuan Peraturan Presiden ini meliputi:

  1. Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang menggunakan anggaran belanja dari APBN/APBD
  2. Pengadaan Barang/Jasa yang menggunakan anggaran belanja dari APBN/APBD sebagaimana dimaksud pada huruf a, termasuk Pengadaan Barang/Jasa yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari pinjaman dalam negeri dan/atau hibah dalam negeri yang diterima oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah; dan/atau
  3. Pengadaan Barang/Jasa yang menggunakan anggaran belanja dari APBN/APBD sebagaimana dimaksud pada huruf a termasuk Pengadaan Barang/Jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari pinjaman luar negeri atau hibah luar negeri.

Namun ada kecualinya juga nih gaeess, semuanya ditulis pada Bagian Ketiga tentang Pengecualian, khususnya Pasal 61 yang berbunyi:

1.Dikecualikan dari ketentuan dalam Peraturan Presiden ini adalah:
    • Pengadaan Barang/Jasa pada Badan Layanan Umum;
    • Pengadaan Barang/Jasa yang dilaksanakan  berdasarkan tarif yang dipublikasikan secara luas kepada masyarakat;
    • Pengadaan Barang/Jasa yang dilaksanakan sesuai dengan praktik bisnis yang sudah mapan
    • Pengadaan Barang/Jasa yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
2. Pengadaan Barang/Jasa pada Badan Layanan Umum diatur tersendiri dengan peraturan pimpinan Badan Layanan Umum. 
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian dalam Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud pada angka 2, 3, dan 4 diatur dengan Peraturan Kepala Lembaga

Khusus pelaksanaan Pasal 3, LKPP telah mengeluarkan Peraturan nomor 12 tahun 2018 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa yang Dikecualikan pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PerLKPP 12/18).

Selanjutnya pada perlem tersebut dijalaskan bahwa :

  1. Dalam hal BLU belum menetapkan peraturan pimpinan BLU, pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa pada BLU berpedoman pada peraturan perundang-undangan dibidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah 
  2. Pengadaan Barang/Jasa yang dilaksanakan berdasarkan Tarif Barang/Jasa yang dipublikasikan secara luas kepada masyarakat, antara lain: 
    1. Listrik.
    2. Telepon/komunikasi.
    3. Air bersih.
    4. Bahan Bakar Gas.
    5. Bahan Bakar Minyak.
  1. Pengadaan Barang/Jasa yang dilaksanakan sesuai dengan praktik bisnis yang sudah mapanDaftar Barang/Jasa yang pengadaannya dilaksanakan sesuai dengan praktik bisnis yang sudah mapan :

1). Barang/jasa yang pelaksanaan transaksi dan usahanya telah berlaku secara umum dalam persaingan usaha yang sehat, terbuka dan Pemerintah telah menetapkan standar biaya untuk harga barang/jasa tersebut, antara lain:

a) jasa akomodasi hotel.

b) jasa tiket transportasi.

c) langganan koran/majalah.

2). Barang/jasa yang jumlah permintaan atas barang/jasa lebih besar daripada jumlah penawaran (excess demand) dan/atau mekanisme pasar tersendiri sehingga pihak pembeli yang menyampaikan penawaran kepada pihak penjual, antara lain: 

a) keikutsertaan seminar/pelatihan/pendidikan.

b) jurnal/publikasi ilmiah/ penelitian/laporan riset. c) kapal bekas.

c) pesawat bekas.

d) Jasa sewa gedung/gudang.

3). Jasa profesi tertentu yang standar remunerasi/imbalan jasa/honorarium, layanan keahlian, praktik pemasaran, dan kode etik telah ditetapkan oleh perkumpulan profesinya, antara lain:

a) jasa Arbiter.

b) jasa Pengacara/Penasihat Hukum. c) jasa Tenaga Kesehatan.

c) jasa PPAT/Notaris.

d) jasa Auditor.

e) jasa penerjemah/interpreter.

f)  jasa Penilai.

4). Barang/Jasa yang merupakan karya seni dan budaya dan/atau industri kreatif, antara lain:

a)  pembuatan/sewa/pembelian film.

b)  pembuatan/sewa/pembelian iklan layanan masyarakat.

c)  jasa pekerja seni dan budaya.

d)  pembuatan/sewa/pembelian barang/karya seni dan budaya.


4.  Pengadaan Barang/Jasa yang diatur dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Lainnya: 

    • Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai;
    • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
    • Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
    • Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara
    • Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2015 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
    • Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengadaan, Penetapan Status, dan Pengalihan Hak atas Rumah Negara
    • Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk kepentingan Umum
    • Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2014 dan Perubahannya tentang Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas
    • Peraturan Presiden Nomor 52 tahun 2014 tentang Pengadaan dan Standar Rumah Bagi Mantan Presiden dan/atau Mantan Wakil Presiden
    • Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
    • Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional
    • Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Asian Games XVIII Tahun 2018
    • Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan.
     Terkhusus poin 4 ini, penulis memiliki catatan khusus, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pada tanggal 21 April 2020  telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Undang-Undang  nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa konstruksi. Pada Bagian Ketiga tentang Pemilihan dan Penetapan Penyedia Jasa, khususnya pasal 60 s/d 74 sangat jelas memuat ketentuan PBJ Konstruksi disamping itu pada pasal 70 sangat jelas juga disebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan Penyedia Jasa untuk pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan jasa Konsultansi Konstruksi; dan pengadaan Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi, diatur dalam peraturan Menteri.  Menjadi pertanyaan besar apakah PBJ Konstruksi akankah menjadi pengecualian yang diatur PS 16/18 juga? Perlukah ada penyesuaian PerLKPP 12/18 mengingat PP hierarkinya lebih tinggi dari PS atau apakah KemenPUPR berani melawan perintah PP...ini akan coba saya ulas diartikel berikutnya.  

Selain mengatur Pengecualian yang sama sekali diluar ketentuan PS 16/18, ternyata ada juga sebagian dari kebijakan PBJ nya yang diatur tersendiri diluar peraturan presiden yaitu untuk :

  1. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk Kontrak dan dokumen pendukung Kontrak  untuk pendanaan yang bersumber dari APBN, dan pemberian kesempatan kepada Penyedia untuk menyelesaikan pekerjaan ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara .
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen pendukung Kontrak untuk pendanaan yang bersumber dari APBD, dan pemberian kesempatan kepada Penyedia untuk menyelesaikan pekerjaan ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang pemerintahan dalam negeri.

  3. Pedoman dan tata cara Pengadaan Barang/Jasa di Luar Negeri  ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri  
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Penelitian ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang riset dan pendidikan


        Demikianlah artikel ini saya sampaikan, semoga kiranya pertanyaan-pertanyaan kok Industry Pertahanan gak ada LPSE-nya?, mau masok PBJ waktu Asian Games XVIII kok gak ngikutin PS 16/18 ? atau kok ada tender di LPSE KemenPUPR yang sumber dananya dari World Bank/Asian Development Bank ga ngikutin Pedoman Standar Dokumen yang berlaku ? semuanya terjawab sekarang...sekian terimakasih.

Catt:

Update 01 Juni 2021

    21 Agustus 2020

    KUE PBJ DI 34 PROVINSI


    Hai teman-teman, salam sehat !!

    Melanjutkan artikel sebelumnya tentang PORSI PENGADAAN BARANG/JASA (PBJ) PADA BELANJA NEGARA yang bisa dilihat juga pada tautan berikut ini : https://www.kebijakanpublikpengadaanbarangjasapemerintah.com/2020/08/porsi-pengadaan-barangjasa-pada-belanja.html , kali ini saya coba masuk lebih ke dalam lagi yaitu berapa besar Porsi PBJ per APBD di setiap Provinsi di Indonesia. 

    Namun sebelum masuk ke pembahasan izinkan saya melalui tulisan ini mengucapkan terimakasih dan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Roni Dwi Susanto., M.Si selaku Kepala LKPP beserta para Jajarannya, tanpa komitmen Keterbukaan Informasi mustahil data-data emas tersebut bisa dinikmati publik termasuk saya. Semoga Kementrian/Lembaga/Pemda se-Indonesia meniru semangat LKPP yang betul-betul Open Data sehingga monitoring dan evaluasi PBJ di NKRI telah telanjang habis....kalo boleh pak... Dokumen Pemenang tender yang sudah habis masa kerahasiaannya secara otomatis dibuka juga di SPSE toh itu juga perintah PS 16/18, Perlem 09/18 dan PM 14/20, selain azas transparansi sangat jelas pula disebutkan bahwa masa kerahasiaan dokumen penawaran adalah sampai Hasil Kualifikasi/Pemenang diumumkan, biar kita-kita masyarakat pemerhati, akademisi dan  penyedia PBJ terutama Para Pembayar Pajak bisa mengawal APBN/APBD dari rumah.

    Back to the topic, berdasarkan kompilasi data Monev LKPP (https://monev.lkpp.go.id/), diperoleh data sebagai berikut:

    dan jika dibuat kedalam bentuk grafik, dihasilkan beberapa ujung jarum yang mencolok sebagai berikut:


    Ternyata Provinsi DKI belanja PBJ nya sangat fantastis ketimbang provinsi lain, rata-rata 20,48 T dalam 3 tahun terakhir pantesan aja adem ayem Penyedia Jasanya dan pastinya rebutan abis agar terpilih jadi Pejabat Pembina-nya. Kalo diandaikan untung para penyedia rata-rata 5% saja..... sudah 1 T duit beredar di Pengusaha.....bolehlah dibagi-bagi 1% aja he3x.

    Dari data diatas, Pusat Pertumbuhan baru muncul diujung Barat Indonesia meskipun Pulau Jawa masih tetap jadi Pusat Pertumbuhan Nasional ....waduh pantesan orang kampung gue pada meranto dimari ya. 

    Terkait sebaran PBJ diatas biar agak nyambung dikit dengan Teori Ilmu Ekonomi Pembangunan Wilayah yang gue pelajari, coba kukutip statement dosen berikut ini:
    "Teori pembangunan yang sampai saat ini masih dipakai meskipun sudah dikembangkan secara lebih canggih adalah teori dari Evsey Domar dan Roy Harrod. Kedua ahli ekonomi yang bekerja secara terpisah ini, mencapai kesimpulan yang sama yakni bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya tabungan dan investasi. Jika tabungan dan investasi rendah, pertumbuhan ekonomi masyarakat negara tersebut juga akan rendah. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi, tabungan dan investasi ini kemudian dirumuskan dalam rumus Harrod-Domar yang sangat terkenal di kalangan para ahli ekonomi pembangunan. "Melihat perbedaan yang tampak antara wilayah-wilayah industri dan wilayah yang sedang berkembang, dibuatlah usaha-usaha untuk menggambarkan tingkat dan macam- macam aspek dari keterbelakangan suatu daerah. Persoalan keterbelakangan kemudian dirumuskan sebagai masalah kekurangan, yakni kekurangan modal." Hubungan yang terjadi antara peningkatan modal serta pergeseran kurva permintaan bisa dijelaskan bahwa kenaikan modal akan membuat masyarakat mampu menghasilkan output potensial yang lebih besar. Hubungan output potensial dengan besarnya stok modal dinamakan ICOR (Incremental Capital Output Ratio). Pengkajian mengenai ICOR menjadi sangat menarik karena ICOR dapat merefleksikan besarnya produktivitas kapital yang pada akhirnya menyangkut besarnya pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai". 

    Menurutku besarnya anggaran PBJ dalam APBD adalah diistilahkan sebagai Investasi yang disebut oleh teori diatas, semakin banyak Investasi di daerah maka akan semakin meninggikan kesejahteraan masyarakat daerahnya dan tentunya kalo sudah sejahtera (wellfare) pastinya akan bisa menabung  pula ". Kalo sudah ada tabungan....cadangan makanan pasti meningkatlah ya apalagi kalo kondisi Covid begini pasti bisa digunakan beli makan. Sekian terimakasih.

    Semoga teman-teman penyedia kebagian Kue Pembangunan di APBD masing-masing.

    Mari kita kawal APBN/D dimulai dari Data, data dan data.


    catt: Gambar diambil dari https://www.bisnis.com/ 

    14 Agustus 2020

    VALUASI PASAR SBU/SKA/SKT

    Melanjutkan artikel singkat saya tentang BISNIS DISEPUTAR TENDER KONSTRUKSI , kita semua jadi kepo seberapa besar Market Value bisnis  yang dikelola LPJK di Indonesia. 

    Berikut ini adalah hasil dan olahan datanya



    Ternyata penjualan Kotornya dari kedua hal diatas saja sudah sebesar Rp. 338.639.566.667/tahun....wah besar banget pantesan saja banyak pihak ribut bahkan sampai ke meja hijau segala, ternyata gitu yang direbutkan, ini belum lagi penghasilan lain-lain loh... seperti biaya-biaya yang dikenakan ke penyedia untuk hal-hal berikut :
    1. Konversi bentuk Portrait ke Landscape
    2. Konversi bentuk Landscape ke Barcode
    3. Konversi bentuk Barcode ke Elektronik
    4. Daftar ulang dari LPJK Non pemerintah ke LPJK binaan KemenPUPR
    pastinya setelah ini pada kepo juga kira-kira pengeluaran LPJK berapa dan kemana saja, untung bersihnya berapa....bukan bermaksud aneh-aneh cuman pikiran nakalku pingin buat usaha sejenis hi3x.

    Btw sebenarnya menurut saya biaya-biaya ini sudah layak digratiskan mengingat:
    • Proses Penerbitan Izin-izin di OSS dan PTSP saja gratis, sudah Layanan ditempatnya OK (ber AC, sofa empuk, teratur, jelas SOP-nya), dilindungi Peraturan Perundang-undangan, Bahan Sertifikat yang dihasilkan berkualitas tinggi & punya pengaman hologram, Hebatnya lagi layanannya Online yang bisa dimonitoring penyedia bahkan menguruspun bisa tanpa tatap muka. Kalopun ada biaya...ya masuknya ke PNBP.
    • Secara Teori dan Praktek, Proses perolehan Sertifikat di PTSP -vs- LPJK bedanya dimana sih ? malah menurutku lebih hebat PTSP yang assesornya memeriksa AKTA, KTP, SKA, SKK, NPWP, SPT, IJAZAH, DOMISILI, KANTOR. 
    • Keahlian mana yang tidak diurus PTSP,  IPTB dan Izin praktek dokterpun dikeluarkan.
    Cukup sekian dulu man teman, semoga artikel ini sampai ke KemenPUPR khususnya Dirjen Binakon, saya tidak butuh popularitas, terkenal, dianggap ahli atau apalah itu. Mari kita sama-sama membangun PBJ khususnya Konstruksi lebih bermartabat dan biarkan saya sebagai penyedia mampu bersaing dan menjalankan usaha dengan berprinsip Value for Money juga seiring dengan prinsip PS 16/18.

    Mohon maaf ada iklan dikit dibawah ini....siapa tahu ada yg butuh Jasa Pasar Informal...Express, saya bantu neruskan doang ya....



    Salam Kebijakan Publik PBJ

    08 Agustus 2020

    BISNIS DISEPUTAR TENDER KONSTRUKSI


    Apabila dibandingkan dengan Pedoman Persyaratan tender konstruksi yang diatur oleh 
    World Bank, Asian Development Bank dan Islamic Development Bank maka Standar Pedoman Tender Konstruksi di Indonesia tergolong yang paling ribet. Dalih sulitnya syarat tersebut dikatakan bertujuan untuk menjamin Kualitas PBJ bisa dikatakan hanya klise saja karena terbukti pada faktanya banyak proyek yang mangkrak, jadi monumen dan berujung masalah hukum.

    Sebagai pemerhati PBJ, tentunya ini menjadi menarik untuk diteliti apa yang sebenarnya terjadi. Sebagai langkah awal, saya pernah menghitung biaya yang diperlukan untuk memenuhi syarat-syarat ribet tersebut kira-kira Penyedia butuh berapa? Selidik punya selidik, ternyata untuk mengikuti tender konstruksi di Indonesia, penyedia bisa mengeluarkan biaya berkisar 7 sampai 10 persen dari HPS paket tender yang diikuti….wah besar juga yak. Kalo begini rasanya seperti menebak mana duluan ada, Ayam atau telor! mana duluan ada Tender yang Ribet atau Bisnis nya yang besar. Teman-teman mungkin bisa menemukan jawabannya sendiri dengan membaca Kuncian-kuncian maut pada artikel saya sebelumnya dan membandingakannya terhadap jenis-jenis Bisnis yang mendukung pemenuhan syarat-syarat tender sebagai berikut ini:

     

     I.    PASAR FORMAL.

    Pasar ini sangat nyata dan resmi bahkan sudah berlangsung bertahun-tahun antara lain

    1.     Pasar pembuatan SKK (SKT/SKA) dan SBU

        Pasar ini adalah Pasar Monopoli yang dikuasai oleh LPJK, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat Konstruksi yang berafiliasi dengan KemenPUPR. Untuk membuat SKK, biasanya Tenaga Terampil/Ahli harus mendaftar dulu di Asosiasi Tenaga Kerja. Setelah membayar kewajiban anggota barulah bisa mengurus sertifikat melalui proses seleksi Administrasi. Penyedia kena biaya lagi tergantung kualifikasi dan klasifikasi SKK yang diminta. Penyedia membutuhkan SKK ini demi untuk mengurus Sertifikat Badan Usaha (SBU) dan Memenuhi persyaratan Tender. Dalam menjalankan Bisnisnya tercatat ada sekitar 60 an Asosiasi yang menjadi mitra bisnis LPJK diseluruh Indonesia.

           Untuk membuat SIUJK, penyedia harus memiliki sertifkat badan usaha (SBU) terlebih dahulu, tetap LPJK juga namun partner bisnisnya adalah Asosiasi Konstruksi. Untuk bisa mendapatkan SBU maka Penyedia harus menjadi salah satu Anggota Asosiasi, yang telah memenuhi kewajiban iuran anggota tentunya. Selain itu, Penyedia juga dikenakan tarif yang beragam tergantung Kualifikasi dan SubKlasifikasi yang diurus. Saat ini terdapat 80an Asosiasi Badan Usaha yang menjadi Rekanan bisnis LPJK yang terdaftar di Indonesia. 

            Selain biaya-biaya diatas, catatan penulis, Penyedia juga pernah terpaksa mengeluarkan biaya extra dengan alasan Konversi dan Registrasi Ulang. Kabar baiknya, menurut UU 02/2017 seharusnya ditahun ini bisnis tersebut sudah dikuasai Pemerintah sepenuhnya dimana keuntungan bisnis ini akan dimasukkan ke negara sebagai PNBP (Penghasilan Negara Bukan Pajak). Untuk Value bisnis Kertas ini akan coba saya bukakan di artikel berikutnya.

    2.     Pasar Sertifikasi Management (ISO/SMK3 dan GREEN BUILDING)

    Pasar ini dikuasai banyak Lembaga Swasta dan satu BUMN. Biayanya sangat besar sekitar 100 jt-an, belum lagi pemeliharaan rutin pertahun dalam bentuk Audit. Uniknya kebanyakan sertifikasi ini adalah lisensi dari Negara luar yang tentunya harus dibayar juga.   

    3.     Pasar pelatihan dan solusi bisnis Tender E-Proc.

    Sangkin ribetnya proses pemilihan, seluruh pelaku PBJ sering kewalahan, ditambah lagi hampir tiap tahun regulasi berubah. Regulasi yang lama saja belum dikuasai sudah muncul regulasi baru, belum lagi terkait tools E-Proc yang pengembangan teknisnya tidak secepat perubahan regulasinya. Ketidak singkronan tiga pilar antara ‘Regulasi-SPSE-SDM’ menimbulkan Asimetris Informasi dan menjadi peluang bisnis yang nyata, disaat inilah banyak para entrepreneur menawarkan solusi pelatihan, pedampingan dan solusi berbasis IT.

    4.     Surat Dukungan Keuangan dan Jaminan Penawaran

    Sering dipersyaratkan Dukungan keuangan dari bank, untuk ini penyedia harus membayar tarif yang ditentukan oleh Bank. Lebih menarik lagi bisnis Penerbitan Jaminan, Penyedia harus memiliki sejumlah dana yang proporsional sesuai besaran yang dijaminkan tentunya ditambah biaya pengurusan sertifikatnya. Jika tidak ada dana cash, ada juga sektor bisnis asuransi yang siap mengcover, walaupun biayanya tinggi namun Penyedia lebih banyak mengambil pilihan ini atau sekalian Jaminannya diambil dari Perusahaan Asuransi.

    5.     Pembuatan Laporan Keuangan

    Bisnis ini untuk Badan Usaha kelas besar dikuasai oleh Kantor Akuntan Publik. Namun untuk perusahaan kecil/menengah tetap dibutuhkan untuk mengurus SBU ataupun mengurus Pinjaman ke Bank

     

    II.       PASAR INFORMAL

    1.     Pengurusan SIUJK/SBU/SKK dll.

    Peluang ini menjadi bisnis menggiurkan, seringnya penambahan syarat diluar standar membuat Penyedia yang bukan jagoan berpikir keras untuk memenuhi syarat tersebut. Disaat seperti ini bermunculanlah pasar informal yang bisa mengurus izin/dokumen yang diminta sesuai waktu dan kebutuhan.

    2.     Rental PERUSAHAAN dan SKK

    Banyak Perusahaan yang secara Administrasi berjalan normal namun secara teknis orang lain yang menjalankannya. Biasanya Perusahaan tersebut disewakan karena memiliki syarat administrasi yang lengkap, memiliki pengalaman dan KD yang cukup. Bisnis seperti ini saat sekarang dijalankan dengan berprinsip TRUST satu sama lain. Karena memang perusahaan Rentalan, pastinya Tenaga Terampil/Ahli juga rentalan juga. Saat ini berkembang juga bisnis khusus Rental SKK dengan slogan lengkap dan siap didatangkan. Pebisnis ini biasanya takut dokumen softcopynya dipakai tanpa dibayar jadi pada setiap dokumen diberi Marking khusus sesuai nama paket yang disepakati. Pasar Informal Rental SKK ini sudah bisa dikategorikan Pasar semi fomal karena keberadaannya sudah terang-terangan beriklan di daring sosial.

    6.     Jual Beli Surat Dukungan

    Adanya persyaratan Peralatan Sewa sudah harus memiliki Perjanjian sewa menyewa meskipun tender belum pasti menang membuat para pemiik alat yang kebanyakan justru Penyedia Rental melihat peluang ini. Tarifnya tidak begitu mahal, namun disaat klarifikasi Penyedia harus mengeluarkan kocek lebih dalam lagi karena biasanya Pemberi Dukungan alat tidak dipakai atau diganti disaat pelaksanaan kontrak.

    3.     Jasa Permodalan

    Selain perbankan, banyak juga jasa ditawarkan oleh perorangan. Selain bunga yang tinggi dan kontrol yang ketat, pemberi jasa biasanya menahan dokumen kontrak asli dan konfirmasi informal ke PPK. Bisnis ini menjamur tak kala banyak Penyedia Kecil yang permodalannya hanya 500 jt kebawah ternyata mendapat proyek sampai 10 Milyar.

    4.     Jasa Pembuatan dan Upload Dokumen Penawaran

    Bisnis ini dikuasai oleh pasar informal perorangan yang iklannya dari mulu ke mulut.  Biasanya jasanya mulai dari membuat Metode Kerja dan RAB bahkan sampai ikut mengupload dokumen penawaran.

     

        Dari besarnya Biaya yang dikeluarkan untuk Pasar Formal/Informal tersebut mari kita membayangkan jika tender diikuti 3 peserta, maka biaya yang hilang untuk kedua peserta yang kalah bisa menghabisakan 14% s/d 20% dari HPS karena hanya 1 Penyedia yang dinyatakan pemenang, bagaimana jika pesertanya ada 10….lantas Ekonomiskah tender konstruksi ini, dimana letak efisiennya, mau ngeles tender berjalan efektif tidak juga tuh, tanya aja KPK. Bukankan PS 16/18 mengamanatkan prinsip Value of Money? Sekian terimakasih

     

     

    Salam Kebijakan Publik Pengadaan Barang Jasa

    Perhatian : 
    Seluruh atau sebagian dari konten ini sangat memungkinkan menjadi bagian dari makalah, tesis atau Disertasi saya terkait Kebijakan Publik, mohon mengkomunikasikan kepada saya apabila hendak dipakai di forum resmi demi menghindari Praktek Plagiatisme. Terimakasih.

     

     


    LEGALISASI KUNCIAN pada SYARAT Pemilihan Penyedia Konstruksi.

      

        Dulu, tepatnya sebelum tanggal 18 Mei 2020, implementasi Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 07/PRT/M/2019 (PM07/19) tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia banyak mendapat sorotan publik, pasalnya banyak para Non Penyedia terutama Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Kelompok Kerja (POKJA) membuat syarat tambahan pada proses Pemilihan Penyedia pada tender Konstruksi. Salahkah? jawabannya tentu tidak, secara tertulis baik pada Pokok maupun Lampiran-nya, PM07/19 sama sekali tidak memuat adanya sebuah larangan tertulis. Sederhananya…yang dilarang saja sering tak dipatuhi apalagi sesuatu yang gak dilarang.
        Sebagai catatan, satu-satunya larangan penambahan syarat pemilihan hanya ada di Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018  tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS16/18), terdapat pada pasal 44 yang berbunyi “Pokja Pemilihan dilarang menambah persyaratan kualifikasi yang diskriminatif dan tidak objektif”,  sayangnya itu hanya mengatur larangan penambahan persyaratan Kualifikasi Perusahaan, tidak berlaku untuk penambahan persyaratan Kualifikasi Pekerjaan (Administrasi, Teknis, Harga ataupun Kualifikasi Keuangan). Akibatnya apa yang selanjutnya akan terjadi pada Persyaratan Tender bisa ditebak yaitu maraknya penambahan syarat-syarat.  Mari kita kupas tuntas lebih lengkap….jadi maaf agak panjang he3x.
        Turunan dari PS 16/18, lahirlah Peraturan LKPP nomor 09 tahun 2018  tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Melalui Penyedia (PLKPP09/18) namun khusus untuk Pedoman Tender Konstruksi LKPP mendelegasikan kewenangannya kepada Menteri yang mengurus Konstruksi dalam hal ini adalah Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Namun perlu dicatat, aslinya hanya terdapat 6 (enam) kewenangan yang didelegasikan yaitu kebijakan terkait  Ketentuan Persyaratan Kualifikasi Administrasi/Legalitas, Kualifikasi Kemampuan Keuangan dan Kualifikasi Teknis, Ketentuan Pelaksanaan Evaluasi Teknis, Syarat-Syarat Umum Kontrak (SSUK) dan Syarat-Syarat Khusus Kontrak (SSKK). Keenam ketentuan tersebut telah dituangkan kedalam PM 07/19 namun pada kenyataanya terdapat juga hal lain yang ikut diatur diluar dari kewenangan yang didelegasikan.
        Pada kenyataannya, pada saat itu semua turunan PS 16/18 baik pada PLKPP09/18 maupun PM 07/19 sama sekali tidak menjelaskan secara rinci dan terukur/kuantitatif apa yang dimaksud dengan  “diskriminatif dan tidak objektif” pada pasal 44 tersebut diatas. Peraturan Perundang-undangan (PPU) yang ada hanya menyajikan ukuran bersifat kualitatif, bahkan banyak Non Penyedia yang berprinsip sepanjang tidak ada yang protes saat Acara Penjelasan maka ukuran “diskriminatif dan tidak objektif” sudah terpenuhi, meskipun kalo ada yang protes belum tentu juga diindahkan he3x. Untuk larangan penambahan syarat Kualifikasi saja ketentuannya masih abu-abu, gimana lagi untuk tambahan syarat Administrasi, Teknis dan Harga yang notabene sama sekali tidak ada larangannya, pastinya lebih menggila lagilah ya…. Sepanjang pengamatan penulis baik sebagai Penyedia maupun Pengamat Kebijakan Publik, sampai detik ini (meskipun PM07/19 sudah dicabut) terdapat sangat banyak syarat tambahan yang detailnya bisa dilihat pada artikel Jurus/kuncian maut pertarungan Tender.
        Beberapa contoh pada artikel Jurus/kuncian maut pertarungan Tender tersebut hanya baru merupakan penambahan syarat atas Regulasi PM07/19, kenyataannya bukan hanya syarat saja yang memungkinkan untuk ditambah/diubah, Regulasi PBJ juga bisa dirubah/tambah, dasar hukum PBJ yang awalnya hanya diatur oleh Peraturan Presiden menjadi celah tersendiri bagi Pemerintahan Daerah (Perda) untuk membuat Pedoman PBJ lokal yang isinya bahkan bisa tidak mengacu aturan yang sudah ada, menambah ketentuan yang belum diatur di PerPUU, tercatat banyak Daerah yang membuat Perda terkait PBJ-nya sendiri yang merupakan modifikasi PLKPP09/18 dan PM07/19. Kebanyakan Perda tersebut berbau kedaerahan yang efektif menyulitkan Penyedia Nasional.
        Lantas bagaimana dengan kondisi saat ini khususnya PBJ Konstruksi terkait Pasca terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Undang-Undang  nomor 02 tahun 2017 tentang Jasa konstruksi (PP22/20) serta Peraturan Menteri PUPR nomor 14 tahun 2020 (PM14/20) tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia?....sangat disayangkan, tidak seperti PS 16/18, PP yang baru ini sama sekali tidak mengatur adanya larangan-larangan pengubahan persyaratan, lebih unik lagi PM 14/20 justru melegalkan penambahan persayaratan tersebut bahkan bukan hanya sebatas persyaratan kualifikasi namun untuk semua persyaratan pemilihan. Menurut saya seharusnya di-level PM14/20 sudah harus jelas The DO & The DON'T nya sehingga tidak membingungkan para pelaku PBJ. Sebagai contoh kita bisa membandingkannya dengan Peraturan Pemerintah nomor 80 tahun 2012 tentang  tata cara pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan dan penindakan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan, bayangkan..sebagai Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, cukup dilevel PP saja aturan ketentuannya sudah cukup jelas dan terukur.  Bandingkan dengan PM14/20, sudah sampai level pelaksanaan dari PP/PS-pun masih terlalu banyak hal multi tafsir-nya yang membingungkan  Penyedia dan POKJA. 
    Bagaimana prosedur legalisasi penambahan syarat yang saya maksud bisa kita baca pada Pasal 58 PM14/20 sebagai berikut:

    1. Dalam hal diperlukan, persyaratan kualifikasi Penyedia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55 dan persyaratan teknis penawaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dan Pasal 57 dapat dilakukan penambahan persyaratan.
    2. Penambahan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada setiap paket pekerjaan. 
    3. Penambahan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan syarat: 
      • a) Mendapatkan persetujuan dari Pejabat Pimpinan Tinggi Madya pada kementerian/lembaga untuk pekerjaan dengan pembiayaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara; atau
      • b) Mendapatkan persetujuan dari Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama pada pemerintah daerah yang membidangi Jasa Konstruksi dan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama pada pemerintah daerah yang merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk pekerjaan dengan pembiayaan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
      • c) Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
           Kita harus akui adanya ketentuan pada ayat 3 diatas bisa saja membuat ”penambahan persyaratan menjadi sesuatu yang rada sulit” namun faktanya dilapangan yang terjadi itu justru tebalik. Penulis mencatat tender berjalan saat ini saja sudah banyak yang melakukan penambahan syarat tender sesuai panduan tata cara legalisasi pada aturan diatas. Pertanyaan besarnya mengapa justru semakin memudahkan? mari kita coba ulas satu persatu apakah ayat 3 tersebut efektif menghalangi Oknum penambah syarat atau tidak. Menurut saya syarat Huruf a) dan b) pada ayat tersebut secara prinsip adalah sama dan sangat gampang untuk mendapatkannya malah boleh dikatakan hal itu adalah sesutu yang diharapkan/ditunggu para Pengguna Anggaran. Berdasarkan UU no. 5/2014 tentang Aparatur Sipil NegaraPejabat Pimpinan Tinggi adalah Pegawai Aparatur Sipil Negara yang  (ASN). Yang berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat pimpinan tinggi madya adalah presiden, namun tidak untuk pejabat pimpinan tinggi pratama yang kewenangan tersebut telah didelegasikan ke Gubernur di Provinsi dan  ke Bupati/Walikota di Kabupaten/Kota. Melihat kewenangan Kepala Daerah yang sangat besar terhadap Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama yang membidangi Jasa Konstruksi maka bisa dipastikan kedudukannya berada dalam kendali Gubernur/Bupati/Walikota, Lantas bagaimana dengan kedudukan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama yang merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintahan daerah atau yang lazim disebut Inspektorat? menurut saya selain kedudukannya sama dengan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama lainnya, secara fungsi-pun diatur pada PP no. 60/2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah dimana disebutkan bahwa Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur/Bupati/Walikota.
            Selanjutnya, bagaimana syarat yang dimaksud huruf c), “tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, mungkin jika bicara sesuatu yang hitam dan putih sangat gampang memutuskan bertentangan atau tidak. Bagaimana jika persyaratan tersebut justru semakin mempertegas/ menguatkan/ mendetailkan/ memastikan suatu persyaratan yang sudah ada seperti menyertakan foto alat, menyertakan rekening koran tiga bulan terakhir, registrasi SBU tahun berjalan, personil tetap terdaftar di LPJK dll, apakah layak disebut melanggar? bagaimana pula jika ditambahkan syarat menyertakan dukungan material hanya dari Pabrikan saja, tidak boleh dari Agen dan Pabrikan tersebut harus memiliki sertifikat ISO 14001, telah pula diaudit tahun berjalan dan harus berdomisili di provinsi setempat? pasti ketawa memikirin-nya he3x. Apakah ini sah dan tidak melanggar ketentuan PerPUU ? yang pasti jawabannya ada di Pengadilan bukan di Berita Acara Penjelasan, bukan di Surat Edaran Menteri, bukan pula di Forum diskusi tak berkekuatan hukum seperti facebook dan whatapps, dan terpenting bukan pula apa kata Nara Sumber ataupun Trainer. Upaya akhir penyedia pada proses PBJ adalah melakukan sanggahan namun bisa saya pastikan sanggahan akan berujung ke sanggah banding yang akhirnya mampet juga di Pejabat tinggi tadi, kalo sudah begini apa masih ada gunanya tahapan sanggah? .
         Agak sedikit kontradiksi dengan ketentuan Umum pada PS 16/18, angka 35 yang berbunyi Dokumen Pemilihan adalah dokumen yang ditetapkan oleh Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan/Agen Pengadaan yang memuat informasi dan ketentuan yang harus ditaati oleh para pihak dalam pemilihan Penyedia. Kalo begini siapa yang diikuti....PS 16/18 atau PM 14/20 ? ini namanya Pejabat tinggi yang berbuat tapi Pokja yang bertanggungjawab. Brani gak Pokja melawan.....
            Kembali ke contoh-contoh penambahan persyaratan pada artikel: Jurus / kuncian maut pertarungan Tender yang merupakan bagian dari tulisan ini, pertanyaan besar berikutnya adalah apakah praktek-praktek tersebut selama ini tanpa sepengetahuan pejabat tinggi ? saya rasa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjawabnya dengan terkuaknya banyak kasus Tipikor yang polanya memiliki kesamaan yaitu Keterlibatan Pejabat Pembina dengan Pejabat Tingginya? bedanya sekarang ini perananan pejabat tinggi lebih Powerfull dalam urusan PBJ ketimbang Pejabat fungsional yang menanganinya. Arahan dari Pejabat Pembina secara langsung bisa diamankan melalui saktinya tanda tangan para pejabat tinggi pembantunya.
            Demikianlah tulisan artikel ini dan mohon dipandang sebagai sebuah kritik terhadap regulasi yang harapannya bisa saja membangun Bangsa khususnya Pengadaan Barang/Jasa-nya. Tentunya penulis juga bukanlah mahluk anti kritik karena saya menganggap perbedaan pendapat adalah sebuah kekayaan imaginasi. 


    Update (08/03/2022):

    1. Saat ini PP 22/20 telah diubah oleh Peraturan Pemerintah nomor 14 tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (PP 14/21). 
    2. PS 16/18 telah diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 12/21)
    3. Perlem 09/18 diganti oleh Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PLKPP12/21). 
    4. PM14/20 dicabut oleh PS12/21 dengan menggantinya menjadi PLKPP12/21 terkait Pedoman Pemilihan Penyedia, terkait hal lain masih berlaku. Mengapa  bisa terjadi? bisa dilihat di artikel ini : LKPP-vs-KemenPUPR (jilid II).
    5. Terkait Pedoman Pemilihan Penyedia khususnya Lampiran 5 pada PLKPP12/21, KemenPUPR mengeluarkan Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 18/SE/M/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Operasional Tertib Penyelenggaraan Persiapan Pemilihan untuk Pengadaan Jasa Konstruksi di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (SEMPUPR18/21) yang berlaku dilingkungan KemenPUPR. Pada Surat Edaran ini Menteri PUPR masih mengizinkan penambahan syarat sepanjang disetujui Pejabat Pimpinan Tinggi Madya. 
    6. Kepala LKPP juga mengeluarkan Surat Edaran Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2022 tentang Penegasan Larangan Penambahan Syarat Kualifikasi Penyedia Dan Syarat Teknis Dalam Proses Pemilihan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Edaran ini menegaskan boleh menambah persyratan sepanjang diatur oleh Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau berdasarkan kajian/justifikasi pihak yang berkompeten di bidangnya. 
         
    Saya menyimpulkan meskipun banyak terdapat perubahan PUU, pada intinya tetap bisa menambah persyaratan karena tidak jelas apa yang dimaksud dengan "Objektif dan Tidak Diskriminatif"....ukuran dan batas lingkupnya bagaimana?


    Sekian dan terimakasih.

    Perhatian : 
    Seluruh atau sebagian dari konten ini sangat memungkinkan menjadi bagian dari makalah, tesis atau Disertasi saya terkait Kebijakan Publik, mohon mengkomunikasikan kepada saya apabila hendak dipakai di forum resmi demi menghindari Praktek Plagiatisme. Terimakasih.